Perjalanan Penuh Makna – Mencapai Puncak Mahameru : Sampai Jumpa Lagi Mahameru!
Eke tertidur begitu nyenyaknya, meringkuk nyaman dalam balutan sleeping bag. Lama-lama rona terang
mulai tertangkap di kelopak mata yang masih terlelap. Begitulah pagi
menyadarkan eke dari tidur yang nyenyak, disambut dengan keriuhan di Ranu
Kumbolo. Jam 05.15, “Lho, kok ga bangunin aku dari tadi? Perasaan aku ga denger
ada suara alarm deh...” tanyaku pada mas yang sudah berada di luar tenda. “Iya,
memang sengaja ga pasang alarm. Ga tega bangunin kamu. Tidurnya enak banget gitu,”
kata mas. Masih mengumpulkan kesadaran yang tercecer, sambil linglung eke
keluar dari tenda – maksudnya untuk melakukan solat subuh. Tampak di luar pak
Mar sedang sibuk memasang peralatan fotografi “Pak Mar udah solat?” “Udah mbak,
saya solat di dalam tenda aja. Ga tahan dingin di luar.” Oh, ok baiklah...eke
meniru pak Mar, solat di dalam tenda. Selesai solat, eke segera bergabung
dengan yang lain untuk menikmati Ranu Kumbolo. Kami tak kuasa untuk tidak
mengabadikan keindahan Ranu Kumbolo dalam foto. Eke sempatkan berjalan-jalan di
sekitar Ranu Kumbolo, kala itu angin sedang bertiup dan membuat permukaan Ranu
Kumbolo berombak.
Let's dancing in front of the lake! |
Permukaan Ranu Kumbolo yang berombak lembut - seperti helai rambutnya |
Kembali ke tenda
tampak mas sedang menjemur kaos kaki di pohon kecil kering di samping tenda
“Pohon kaos kaki,” katanya. Kami berdua masuk tenda lalu beres-beres badan dan
mengepak ulang barang bawaan untuk persiapan pulang. Setelah selesai, mas Ase
mempersilakan kami untuk sarapan terlebih dahulu, sedang dia dan mas Dede masih
melanjutkan membereskan tenda. “Semalem ga bisa tidur...” kata mas Dede.
“Kenapa mas?” “Merosot terus...” oh ternyata benar, ini dia sumber suara
gelisah semalam. “Oh iya, miring ya... tempat tidur mas Eko juga miring,”
tetapi mas Eko tak merosot karena tidur beralaskan matras, sedang mas Dede dan
mas Ase tidur tanpa matras. Hal ini eke ketahui saat malam sebelumnya eke
sempat ingin meminjam matras dari mereka. Eke, mas, dan peserta lain sudah
mengeluarkan barang-barang bawaan dari tenda. Semuanya sudah siap berangkat.
Porter sibuk menyusun barang bawaan di ujung-ujung tongkat bambu, setelah
selesai, barang bawaan itu dijadikan properti foto oleh pak Mar dan pak Dudung
untuk bergaya ala porter. Semuanya telah siap berangkat, kami semua bertolak
meninggalkan Ranu Kumbolo sekitar pukul 08.00. Mas Ase dan mas Dede masih
berberes di Ranu Kumbolo.
Happy me! |
Tim kami sepakat
menyusuri dasar lembah Ranu Kumbolo daripada menyusuri jalan setapak di lereng
bukit. Sampai disini eke sudah cukup tersiksa menahan desakan di perut, huhu. Kami
semangat jalan terus hingga mencapai pos 4, sudah disusul mas Ase dan mas Dede.
“Gimana mas, semalem jadi ke pos 3 cari sinyal?” “Jadi mbak, pos 3 serem...sepi
banget.” “Eh iya ya...Sampe jam berapa emang mas?” “Sekitar jam 12an lah.”
Hanya itu keterangan yang terucap dari mas Ase. Bapak ibu Dudung telah melaju
mendahului, mas Eko izin jalan duluan karena lututnya sakit – daripada jalan
berbarengan akan memperlambat pergerakan tim saja sembari mencari tempat yang
pas untuk pup eke (menurut informasi mas Ase, tempat yang pas di pos 3 – yang
semoga saja sedang sepi). Sedangkan eke yang tak bisa jalan cepat masih setia
ditemani pak Mar, mas Ase, dan mas Dede.
Sepanjang perjalanan
kami terus melaju sambil ngobrol tentunya. Pak Mar menjelaskan meskipun gunung
itu berdiri begitu kokohnya namun soal keteguhan – lebih teguh manusia ketimbang
gunung saat sama-sama diberi wahyu Allah (Al Hasyr: 21, selepas pulang dari
Semeru – eke ngaji dan kebetulan sampailah di ayat ini. Hm, kebetulan sekali.
Masya Allah). Sesekali kami istirahat untuk mengatur nafas dan minum-minum.
Sepanjang perjalanan kami belum bisa menyusul mas Eko “Wah, mas Eko cepet
banget. Dia nge-NOS nih, kita mah ngenes,” kata mas Ase. Hm, eke juga heran itu
orang bilangnya sakit lutut tapi kenapa jalannya jadi cepet banget begitu. Mas
Ase menunjukkan foto-foto prewed-nya
bersama nyonya saat di Semeru. Foto prewed
yang cukup menarik, mengingat pemandangan yang dihasilkan lumayan dramatis.
Meskipun eke sendiri tidak begitu tertarik melakukan foto prewed (nantinya) dan lebih memilih foto postwed dengan pose yang lebih menantang pastinya hahaha! “Habis
berapa mas foto prewed disini?” “Lima
belas juta mbak.” “Hm?” “Itu udah semua acara...” “O iya, betul.” “Sebetulnya
kami mau foto sampe di puncak. Tapi istri udah keburu drop, fotografernya juga.” Hm, iya...ga kebayang betapa
merepotkannya harus ribet dandan cantik saat naik gunung beserta dengan
peralatan foto yang ada. “O iya, di jalur Semeru ini banyak pacetnya ga mas?”
“Hm, engga ada sih mbak. Kalo di jalur pendakiannya sih ga ada.” “Meskipun
musim hujan?” “Iya, kayanya sih ga ada. Mungkin kalo masuk semak-semaknya baru
ada.” Kami lanjut perjalanan.
Baru beberapa lama
berjalan, mas Ase dan mas Dede tampak mengerumuni batu yang ada di jalur
pendakian. “Ini mah gendut banget...” “Iya ini...” mereka tampak berbisik-bisik
mencoba menggambarkan sosok yang ada di batu itu - yang cukup membuat eke
bergidik. “Mbak sini mbak cobain!” pekik mas Dede. “Waa!! Engga mas, makasih!”
Itu dia si pacet panjang umur yang sebelumnya kami bicarakan. “Wah, pacetnya
pinter ya...ngetemnya di batu jalur pendakian,” kata pak Mar. Kami lanjut
berjalan dan bertemulah dengan mas Eko sebelum mencapai pos 3.
“Nah, pup-nya disini
aja ya. Gimana?” tanya mas Eko merujuk pada sepetak tanah di balik dua batang
pohon cemara yang agak menjorok ke jurang. “Ya udah mas disini aja, tadi tanya
orang-orang katanya pos 3 lagi rame,” kata mas Ase. Syukurlah ada tempat yang
pas, meskipun malu (tapi ya akhirnya cuek aja). Maka mas-mas itu mulai menyusun
tas dan sarung untuk membuat tempat yang lebih tertutup. Lumayan nyaman untuk
pup, hihi. Di tempat itulah sinyal provider
cukup kuat, sehingga bunyi notifikasi gadget
mulai beradu. Jelas bagi yang sudah punya nyonya itu merupakan suatu
anugrah, pak Mar, mas Ase, dan mas Eko mulai menghubungi nyonya masing-masing.
Eke sendiri segera sms travel yang bisa menuju Tuban atau Surabaya sore itu
juga serta mengingatkan Kokoh agar tak lupa meminjamkan motornya. Setelah
selesai menuntaskan urusan, kami bersiap lanjut perjalanan kembali. Lagi-lagi
mas Eko mohon diri untuk jalan duluan.
Sampailah di pos 3,
mestinya tepat sebelum pos 3 ada turunan yang cukup curam. Tapi saat
menuruninya rasanya tidak terlalu eke hiraukan. Di pos 3 ini kami istirahat
sebentar – dan tidak menemukan sosok mas Eko, eke langsung mengambil tempat
duduk di dalam pos 3. “Mbak, mbaknya daki sama mas yang itu?” tanya seorang
pendaki yang juga sedang istirahat disitu. “Yang mana? Yang ini atau yang itu?
Yang itu mas Ase...” “Bukan.” “Yang ini? Mas Dede?” “Ah, iya...Coba panggilin
mbak.” “Mas Dede...Mas Dede...dicari Mas ini,” cukup lama eke mengalihkan lamunan
mas Dede dan perlu mengetuk bahunya, lalu mereka pun bercengkerama. Cukup
beristirahat, kami lanjut perjalanan pulang.
Kala itu jalur
pendakian cukup dipenuhi pendaki yang berangkat ke puncak, maklum long weekend. Tak lupa kami selalu
berbagi semangat kepada mereka yang akan ke puncak itu. Beragam umur pendaki
kami temui di sepanjang jalur, dari bapak-bapak sampai adik-adik SD. Hebat. Rupa
kami yang turun gunung jelas berbeda dengan rupa mereka yang akan naik gunung,
mereka berwajah bersih dan wangi. Sedang kami? Alhamdulillah tetap kece, hehe. Sampai
di pos 2 kami istirahat kembali, meluruskan kaki. Disini tampak mas Eko juga
sedang istirahat, sedang bapak ibu Dudung terlihat telah bertolak dari pos 2.
Kami duduk-duduk disitu dahulu, sebatang dua batang rokok bagi yang merokok. Pak
Mar dan mas tak lupa mencoba tetap keep
contact dengan orang-orang di rumah. Mas Dede duduk diujung sana, rambutnya
yang bergelombang tampak basah – tersibak ke kanan.
Lanjut perjalanan
dengan pak Mar, mas Ase, dan mas Dede. Sepanjang perjalanan pak Mar gemar
melempar semangat kepada pendaki lain yang akan muncak “Ayo, semangat mbak...
pos 1 sebentar lagi!” Mas Ase juga turut memberikan semangat dengan suara
genit. “Mbak...nanti tendanya dinomerin yaa..” kata mas Dede. Pak Mar membuka
obrolan dengan mengangkat topik capres. Pak Mar rupanya sangat mengidolakan
Jokowi. “Nah, kalo saya mah ga gitu peduli sama pilpres...malah kalo pemilihan
RT saya semangat datang,” ujar mas Dede. Mas Ase mulai memutar lagu dari pemutar musiknya untuk memecah kesunyian, terdengar alunan lagu dangdut Masih Ting-Ting yang dibawakan oleh Ayu Ting-Ting. "Mbak...mbak... lagu dangdut pantura nih. Saya masih ting-ting, dijamin masih ting-ting..." senandung mas Ase sambil berjalan.
Sampailah kami di
Landengan Dowo, ada anak kecil yang membuka lapak minuman disitu. Mas Ase
membeli beberapa Ale-ale untuk kami semua “Kasian, harga Ale-alenya ga beda sama
kalo beli di warung,” kata mas Ase. Lalu kami berjalan menuruni bukit. Disambut
dengan ladang penduduk yang rapi nan indah di Ranupani. Inilah akhir pendakian
kami. Di pos pendaftaran, mas Ase dan mas Dede tampak menyerahkan sampah kepada
petugas. “Nah, kalo gini kan enak...” kata mas Dede – lega setelah melepas
sampah yang diikat di tasnya. Kami lanjut berjalan, sebelum jauh melangkah eke
didekati bapak pengendara motor kenalan mas Ase dan mas Dede. Ini yang membuat
akhir pendakian eke kurang epik karena eke memutuskan ikut nebeng bapak itu
untuk menuju warung tempat berkumpul kami. Hehe.
Sesampainya di warung,
mas Eko tampak sibuk mengira-ngira jumlah ponakan dan ragam ukuran badan mereka
untuk dibelikan kaos bergambar Semeru. Setelah mendata jumlah dan ukuran
ponakan, kami berdua membeli kaos dengan pembagian yang telah disepakati.
Sambil menunggu barang yang dibawa porter, kami semua memesan makanan untuk
makan siang di warung itu. Pak Dudung, mas Ase, dan pak Mar tampak segar
setelah nunut mandi di warung itu. Sedang eke dan bu Dudung lebih memilih mandi
di rumah saja. Setelah selesai mengepak ulang barang bawaan, kami semua menuju
parkiran hardtop yang ada di depan
danau Ranupani (ketika menulis danau Ranupani ini berarti kata yang berarti
danau tersebut dua kali – danau danau Pani, semacam menulis bank BRI hehe).
Sebelum mencapai parkiran hardtop,
mas Ase memberikan souvenir Wisata Gunung sambil berfoto dengan pak Dudung
sebagai simbolisasi. Lanjut menuju parkiran hardtop,
mas Ase membantuku membawa carrier-ku
“Wah, carrier-nya enak dipakainya...”
kata mas Ase saat mengangkat carrier lawas pinjaman dari mang Inul itu.
Sesampainya di
parkiran hardtop, rupanya hardtop tumpangan kami belum datang.
Jadilah kami menunggu sejenak di warung minum sekitar situ. Kawan-kawan yang
lain mulai menyomot gorengan dan memesan teh hangat atau Pop Ice, eke sendiri
tidak terlalu tertarik untuk makan (lagi). Akhirnya hardtop tiba juga, kami segera menaruh barang bawaan untuk ditata
di atap hardtop. Kami semua masuk ke
dalam hardtop sambil menunggu pak
Tikno yang sedang melakukan deal or no
deal dengan sopir lain. Lalu hardtop kami
akhirnya melaju menjauhi Ranupani setelah pak Tikno memberikan sejumlah uang
kepada sopir lain tsb. Semeru masih menampakkan puncaknya. Kawan-kawan yang
lain pun mengagumi keagungannya...
Sepanjang perjalanan
kami semua ngobrol tentang berbagai hal yang menarik untuk dibicarakan. Bu Dudung duduk di jok depan bersama pak Dudung - dirinya tampak memeluk tas plastik merah berisi bunga edelweis yang dipetik pak Dudung. Hardtop berjalan meliuk-liuk mengikuti
kontur jalan yang ada. Di tiap-tiap tikungan tajam ada beberapa tanda
peringatan yang menarik ‘slowly’, ‘ita-ita ker’. Di sekitar Ngadas sinyal hp
masih belum kuat, eke sendiri menanti sinyal hp tsb dengan penuh harap untuk
segera menelepon agen travel yang masih tersedia. Meskipun kemungkinannya
tipis, eke masih berharap akan ada travel yang bisa mengantar sampai ke Tuban
daripada naik bus ke Surabaya lalu lanjut ke Tuban.
Mendekati Tumpang,
sinyal hp sudah kuat. Eke segera menghubungi berbagai agen travel yang bisa
mengantar sampai ke Tuban, semuanya mengatakan perjalanan ke Tuban sudah penuh.
Pak Mar mencoba membantu dengan berbagai nomor agen travel yang dia punya.
Sekalinya ditelpon, jawabannya pasti sudah penuh. Dia memberi nomor yang lain,
coba telepon – penuh. Nomor lain lagi – penuh. Sampai hampir belasan nomor,
penuh semua. Akhirnya eke menyerah selain juga karena pulsa hp sudah tipis, eke
akhirnya memilih pulang ke Tuban via bus Malang – Surabaya lanjut Surabaya –
Tuban. Kami mampir sejenak di atm Mandiri Tumpang, disitu eke ditelepon bapak.
Bapak menanyakan kabar eke dan mas. Langsung eke jawab: anak-anak bapak
berhasil mendaki dengan selamat dan senang. Telepon beralih ke ibu, beliau
menanyakan bagaimana medan disana? Apakah bersalju? Tidak ada salju ibu, itu di
Jayawijaya, Papua. Mahameru sangat curam. :)
Kami semua sampai di rumah Malang sekitar jam
17.00, tidak jauh berbeda dengan perkiraan jadwal perjalanan. Sesampainya di
rumah, eke langsung menuju kamar mandi. Eh tapi ternyata didahului oleh mas
Eko. Gagal. Ibu tuan rumah mengingatkan daripada mandi lebih baik solat dahulu
karena adzan magrib dimulai pukul 17.20. Apaaah??! Cepet banget, o iya...ini di
Malang. Sontak eke gedor-gedor pintu kamar mandi supaya mas mandinya lebih
cepat. Selesai solat jamak dzuhur ashar lalu eke bergegas mandi. Selepas adzan
magrib eke langsung lanjut solat jamak magrib isya, mengepak ulang barang
bawaan, lalu segera turun ke bawah – tak ingin melewatkan perpisahan dengan mas
Ase dan mas Dede.
Di luar mas Ase dan mas Dede sedang duduk-duduk
bersama pak Dudung. Bu Dudung datang menghampiri dengan tampilan yang segar
sehabis mandi. Tuan rumah mempersilakan mas Ase dan mas Dede untuk mandi, waktu
itu yang mengambil giliran pertama mandi adalah mas Ase. Rupanya mas Ase mandi
cukup lama, sedang kami semua sebetulnya sudah terbuai lapar. Alhamdulillah
tuan rumah mengambil inisiatif untuk mempersilakan kami makan terlebih dahulu.
Kala itu disajikan es teler dan bakso khas Malang yang lezat. Mas Dede pun tak
kuasa melonggarkan ikat pinggangnya. Kami makan malam dengan bahagia. Pak Dudung mulai menceritakan pengalamannya, bahwasanya pada saat treking hari pertama menuju Ranu Kumbolo menjelang magrib beliau merasa melihat pondokan tempat bernaung para pendaki sebelum pos 4 "Ayo, bentar lagi kita sampai di pos kok..." kata pak Dudung kala itu kepada bu Dudung, namun saat sampai di kerumunan pendaki itu nyatanya tidak ada pondokan untuk bernanung. "Nah, waktu sampai disitu saya kaget, lho kok pos-nya ga ada. Perasaan dari jauh tadi saya lihat atapnya. Tapi waktu itu saya langsung mikir gini: Ah, di suhu 22 degC ini beberapa manusia memang ada yang mulai ga tahan jadi bisa memicu halusinasi," terang pak Dudung. "Waktu itu saya ga mikir macem-macem lho mbak, saya mikirnya bapak ngomong gitu itu buat nyemangati saya," kata bu Dudung. "Wah, iya! Aku waktu tadi jalan sendirian mau ke pos 3 itu juga lihat ada pos di lereng bukit. Aku mikirnya: lho kok ada pos disitu...mestinya kan ga ada," seru mas Eko. "Wah, ya itu!" timpal pak Dudung. "Nah, sebenernya semalem waktu di pos 3 itu pas saya lagi nelpon istri - kan sepi banget disitu. Yah, banyak suara-suara lah... sama ada pocong yang menampakkan diri. Tapi kalo ada kaya gitu itu, jangan takut... Dia cuma bikin kaget aja, dia ga bakal bunuh manusia. Malah bisa bikin jalan jadi cepet," kata mas Ase. Haduh, suasana jadi mistis... teringat tengah malam nanti ketika sampai Tuban, eke akan tidur sendirian. Hiks.
Mas Ase selesai mandi, giliran mas Dede masuk
kamar mandi. Jam menunjukkan pukul 19.00, tuan rumah menghimbau eke untuk
segera menuju terminal Arjosari dengan diantar istrinya. Eke menyetujui, maka
pamitlah eke dengan semua orang yang ada disitu. Terima kasih bapak ibu tuan
rumah yang sudah menerima eke dengan baik. Terima kasih bapak ibu Dudung atas
waktunya selama ini, mohon maaf lahir batin, sampai ketemu lagi. Terima kasih
mas Ase, mohon maaf jika ada salah kata dan perbuatan, sukses selalu untuk
usahanya. Sampai ketemu lagi mas Eko, aku menyayangimu. Kurang satu lagi, mas
Dede...tapi eke keburu pergi.
Kala itu pertama kalinya eke berada di terminal
Arjosari, sendiri. Langsung menuju beranda yang menunjukkan perjalanan ke
Surabaya. Kala itu ada dua bus yang menuju ke Surabaya, bus pertama – meskipun patas,
tapi tampilannya kurang ‘patas’, dan entah menuju terminal mana. Bus yang kedua
– patas yang meyakinkan tapi jurusan terminal Oso Wilangun. Eke mesti turun di
Bungurasih. Sedikit ragu, eke sempat duduk termenung disitu mengamat-amati bus
yang ada. Akhirnya eke beranikan tanya ke kernet yang ada di sekitar bus
pertama, ternyata bus itu jurusan Bungurasih. Bismillah eke yakin menaikinya.
Berada di dalam bus, eke sempatkan bertanya sekali
lagi kepada penumpang di sebelahku – apa benar bus ini menuju Bungurasih?
Alhamdulillah iya. Tenang lah hati ini. Bus bergerak perlahan meninggalkan kota
Malang karena tertahan arus kemacetan. Tak jauh meninggalkan kota Malang, eke
ditelepon senior eke. Wow wow... ternyata dia masih ingat aja sama eke hehe,
dia menanyakan tentang fuel gas molecular weight yang tidak ter-update dengan benar oleh tim Laboratorium sejak awal bulan.
Di dalam bus, diri ini memang lelah tetapi puas. Masih
terasa semangat membara yang telah Mahameru torehkan di dadaku. Sambil melihat
jalanan di luar yang melaju berganti-ganti, eke coba mengingat-ingat apa yang
telah eke lakukan. Eke masih merasa tak percaya akan semua ini. Nyatanya eke
sanggup menggapai Mahameru, impian eke selama ini. Eke bisa mengalahkan diri
sendiri. Eke merasa terberkahi, sangat sangat terberkahi. Dalam senyum penuh kepuasan,
ah kiranya segala kekuatan ini datangnya dari Allah ta’ala. Tanpa-Nya, eke tak
yakin mampu. Bus terus melaju, menyisakan rasa yang masih mengganjal di hati
karena tak sempat berpamitan dengan mas Dede – orang yang setia menemaniku
hingga ke puncak Mahameru. Ah, nanti akan ku cari... pasti ketemu!
Bus sampai di terminal Bungurasih sekitar pukul 22.00. Eke langsung bergegas ke peron pemberangkatan bus selanjutnya menuju Tuban. Alhamdulillah tak perlu menunggu lama, bus patas jurusan Jepara siap berangkat. Bismillah menuju Tuban. Malam itu eke sangat bahagia atas segala nikmat pengalaman yang telah eke terima dan lalui. Ghofur, Syakurun, Wadud, Qoyyumun, Ro'uf, Shoburun, Majiid... eke tahu esok paginya eke akan bekerja seperti biasa. Duduk memandang laptop mengamati angka-angka yang berjajar di Excel. Tapi esok eke akan menjadi pribadi yang ‘berbeda’, menjadi pribadi yang merasa sangat beruntung di dunia. Begitulah Mahameru memberikan pelajaran hidup untukku. Kecantikannya mampu mengingatkan lemahnya diri ini. Sampai jumpa lagi Mahameru!
Artikel berkesinambungan:
0 1 2 3 4 5
Comments
Post a Comment