Perjalanan Penuh Makna – Mencapai Puncak Mahameru : Berdiri di Atap Tanah Jawa
Masih dalam diam, eke yakin anggota tim kami juga memanjatkan harapan agar
hujan segera reda. Lantunan tembang Maher Zain dari pemutar musik pak Mary
masih mengalun, bercampur dengan deru air hujan dan keramaian pendaki yang
menerobos hujan demi summit attack. Nyatanya
lantunan lagu-lagu tsb membuat hati eke menjadi lebih tenang dan tetap optimis.
Lambat laun suara lagu tsb terdengar semakin jelas tak terganggu oleh deruan
tetes hujan. Subhanallah wal hamdulillah,
hujan melembut dan benar-benar berhenti menderu sekitar jam 00.15. Masih di
dalam tenda, eke merasakan desakan di perut huhu. Mas Ase kemudian segera
memanggil kami untuk sarapan di shelter. Eke sendiri mohon izin dulu untuk pup
ditemani mas eke. Di luar udara sangat dingin, rintik-rintik air hujan masih
turun dengan bulir-bulirnya yang ringan tampak ikut tertiup angin. Itulah
pengalaman pup eke di tempat yang tinggi dengan udara yang isisssssss abis. Hehehe.
Setelah itu eke dan
mas segera menuju shelter, menggamit roti tawar dan selai yang tersedia. Eke
hanya makan setangkup roti tawar dengan susu kental manis meskipun ada pilihan
yang lebih bergizi: telur dadar, di jam-jam seperti itu jelas bukan termasuk
dalam waktu sarapan dan eke belum punya nafsu makan. Mengunyah pun eke
kesulitan. Merasa sedikit makan, eke pun mengantongi sebuah pir. Selesai makan,
eke dan mas segera menyusul anggota tim kami yang sudah berkumpul di luar
shelter, berdiri membentuk lingkaran. Tampak mas eke sering bolak-balik tenda
untuk mengecek barang bawaan. “Mas Eko so
long time,” kata pak Mary.
“Nah, malam ini kita
semua akan summit attack. Bismillah,
semoga perjalanan kita lancar. Kita jalannya pelan-pelan aja ya pak... santai
aja. Kita ada waktu di puncak sampai jam 10-an. Kalau ada yang ga kuat, sampai
dimanapun nanti akan kami antar kembali ke tenda. Nanti mas Dede yang akan
mengantar kembali ke tenda, sedangkan saya tetap memandu perjalanan ke puncak.
Nanti mas Dede akan menyusul lagi ikut rombongan ke puncak. Untuk kelancaran
perjalanan kita hari ini, silakan Pak Mar memimpin doa,” ucap mas Ase mengawali
dan mengakhiri pembicaraan. Pak Mary melantunkan doa untuk keselamatan dan
kebaikan kami semua, kami mengamini dengan khusyuk dan penuh harap. Eke sendiri
tak henti-hentinya meminta keselamatan dan kekuatan pada Allah untuk eke
beserta tim. Semua kepal tangan anggota tim bersatu dalam satu lingkaran dan
pecah dalam yel-yel penyemangat keberangkatan kami. Berjalanlah kami beriringan
dipandu oleh mas Ase dan digawangi oleh mas Dede. Bismillah.
Kami berjalan memasuki
hutan mengikuti jalan setapak di samping shelter Kalimati, tanah tempat pijakan
terasa basah dan berkerikil. Kiranya Allah tadi menurunkan hujan agar tanah
pijakan kami nantinya tidak terlalu berdebu dan lebih mampat, terima kasih ya
Allah. Benar adanya mas Ase memimpin perjalanan dengan langkah kaki yang mantap,
tidak cepat, namun pasti. Kami yang pemula dalam pendakian pun bisa mengikuti
langkah perjalanan dengan nyaman dan tidak terlalu ngos-ngosan. Namun lambat
laun jalur semakin menanjak, kami jadi mudah ngos-ngosan. Perjalanan pun
diimbangi dengan istirahat untuk mengatur nafas. Sekiranya kami telah melewati
tiga tikungan serta tiga tanjakan dan tidak termasuk tiga kali lebaran, langkah
bu Dudung semakin tertatih. Beliau mengeluhkan sakit pada kakinya. Mas Ase pun
menegaskan pilihan untuk kembali ke tenda. Bu Dudung sedikit ragu, mas Ase
membujuk dengan kata: mumpung masih dekat dengan tenda. Akhirnya Bu Dudung
harus berpisah dengan kami, beliau diantar mas Dede kembali ke tenda.
Sembari istirahat
sejenak, kami kembali merapikan kostum. Eke mulai memakai jas hujan untuk menepis
hawa dingin. Saat itu udara mestinya sangat dingin, tapi tidak terlalu terasa
di badan karena kami terus bergerak. Bahkan dalam balutan jas hujan, badan
terasa gerah lantaran berkeringat. Dalam gelapnya malam, pucuk-pucuk tanaman
edelweis yang berbunga tetap terlihat cemerlang sehingga kami bisa
mengenalinya. Meskipun tidak dianjurkan, pak Dudung mengambil setangkai bunga
edelweis yang telah patah lalu membungkusnya di dalam plastik dan disimpan di
dalam tas. Kami melanjutkan perjalanan, tanah pijakan berupa tanah berbutir
lembut dengan jalur terus menanjak. Eke berjalan waspada menatap jalan setapak
sembari menggapai ranting-ranting pohon di kanan kiri jalur untuk berpegangan.
Saking seriusnya menatap jalan setapak, eke jadi bisa melihat cacing tanah menggeliat
- tertarik akan lembapnya tanah di permukaan. Cacing itu pun akhirnya bernasib
malang karena terinjak para pendaki.
Jalan setapak menuju
puncak memang sempit, kami harus berbagi dengan pendaki lain yang juga
melewatinya dari arah berlawanan. Eh, dari arah berlawanan? Ini jam berapa?
“Wah, udah turun mas? Udah dari puncak?” tanya mas Ase. “Ga mas, kami turun
soalnya kecapekan,” jawab pendaki itu. “Kami segera turun mas, soalnya katanya
di atas badai,” jawab pendaki lain. “Nah, kita tetap jalan aja pak. Kondisi di
atas sana gampang berubah, apalagi tadi masih ‘katanya’,” kata mas Ase
menjelaskan setelah pendaki-pendaki itu berlalu, kami hanya manggut-manggut
tanda setuju. Kami terus lanjut perjalanan, masih dalam ritme berjalan yang
santai sambil istirahat. Ketika ada jalur pertigaan, mas Ase menunjukkan bahwa
itu merupakan cabang pertemuan dengan jalur Arcopodo lama. Kami semakin melaju
ke atas, kadang di kanan kiri jalur pendakian banyak pendaki yang istirahat
bahkan tidur. Dinginnya kondisi disitu membuat eke was-was terhadap pendaki
yang tertidur lelap itu...
Sebelum mencapai
Kelik, mas Ase menghimbau untuk istirahat di tanah datar yang cukup lapang.
“Pak, kita istirahat dulu disini. Santai-santai dulu aja, sambil isi
perut...soalnya setelah ini medannya bakal berat banget,” kata mas Ase memberi
informasi. Kami menuruti ajakan mas Ase, kami duduk-duduk disitu sambil kembali
merapikan kostum dan memakan bekal yang ada. Eke memasang gaiter dibantu mas eke, makan pir dan minum air hangat, tak lupa eke
pipis dulu di balik pohon. Jaga-jaga, daripada pengen pipis di lereng ato
puncak, mau sembunyi dimana?? Hoho. Sekiranya kami semua terlalu terlena
istirahat disitu, mungkin memakan waktu hingga setengah jam, barulah kami
berangkat mendaki kembali.
Sampailah kami di Kelik, batas vegetasi di lereng
Semeru. Disitu tertanam batu memoriam untuk Kelik dan ada juga untuk nama yang
lain. Angin cukup kencang berhembus kala itu, meniup-niup ranting-ranting
cemara sehingga menghasilkan suara yang penuh misteri. Syuu...syu... Suasana
mampu membuat eke merinding dan benar-benar teringat akan bahaya kematian. “Pepohonan
sedang berdzikir,” kata mas eke memecah kesunyian. Itu benar juga, kalimat mas
cukup mengingatkan diri ini untuk dzikrullah dan berdoa dengan sungguh-sungguh
untuk kekuatan serta keselamatan eke beserta rombongan. Berkali-kali eke merasa
diri ini sangat kecil dan lemah. Dari sini, mulailah perjuangan berat menuju
Mahameru. Medan yang telah eke simak baik-baik dari cerita pengalaman seorang
teman kerja yang telah sampai disini. “Nah, inilah pendakian Mahameru yang sesungguhnya
dimulai,” kata mas Ase meyakinkan.
Dari Kelik terbentang jalur berupa punggungan
dengan kanan kirinya jurang, jalur tsb menghubungkan batas vegetasi ke lereng
curam Mahameru kira-kira sepanjang 30 m. Dari situlah mental dan kekuatan mulai
diuji, kaki menjadi berat untuk melangkah karena curam dan mudah tenggelam ke
dalam pasir. Mengikuti saran mas Ase untuk menginjak bekas pijakan orang
terkadang cukup membantu dan sering terasa sia-sia. Eke memantapkan hati untuk
terus melangkah, mengikuti jejak tim rombongan, menanamkan sugesti
berulang-ulang: pasti bisa dan pasti kuat! Rupanya kawan-kawan setim juga mengalami
hal yang sama: ngos-ngosan dan kewalahan dalam meniti jalur yang ada. Jelas
kami sering istirahat setelah melangkah barang 5 atau 7 langkah, mencari
sandaran yang aman di pinggir jalur. Di tengah perjalanan, kami bertemu mas
Dede dari arah berlawanan ._. rupanya dia sudah sampai ke puncak terlebih
dahulu. “Lho, tak cari-cari di puncak ko ga ada... Aku pikir cepet banget ini
orang bawa cewek sampe ke puncak, di jalan ga ketemu. Mana di atas dingin
banget, orang-orang pada sembunyi di ceruk,” kata mas Dede menjelaskan. “Wah,
Mas Dede udah sampe puncak, jamunya apa?” tanya pak Mary keheranan. “Tadi aku
panggil-panggil di radio ga denger ya? Dede.. Dede...” kata mas Ase sambil
mencoba HT-nya. Rupanya radio mereka tidak berfungsi.
Kaki terus melangkah
Meskipun enggan
Lereng begitu curamnya
Garisnya dengan tegas membedakan angkasa dan bumi
Sesekali kepala mendongak ke atas
Kelap-kelip lampu pendaki yang berada lebih atas
Bak bintang pemberi harapan
Menoleh ke kanan
Oh, indahnya gemerlap kota Malang
Kiranya penduduk di kota itu sedang terlelap
Nyenyak dalam selimut lembut dan hangat
Disini aku menguji diri sendiri
Bagai berada di dimensi lain yang penuh batu dan pasir
Dihibur oleh suara nafas sendiri
Yang terengah-engah
Menoleh ke kiri
Sang bulan sabit dan bintang bagaikan pasangan sejati
Berpendar hening dalam gelap malam
Menyaksikan kami yang tertatih-tatih
Jangan kau tertawakan kami, ya bulan dan bintang
Sesungguhnya kami sedang berusaha
Jam menunjukkan pukul
04.15, mestinya jam segitu sudah masuk waktu subuh dan kami baru mencapai
seperempat lereng. Anggota tim sepakat untuk solat terlebih dahulu. Serta merta
eke mencari sandaran duduk yang aman di pinggir jalur, sedang mas dan pak Mary
mencari tempat yang lebih aman di atas eke. Mungkin kala itu adalah pengalaman pertama
eke solat di tempat yang tinggi, lalu eke solat sambil duduk menghadap kota
Malang. Tak henti-hentinya eke berdoa meminta kekuatan dan keselamatan untuk
eke beserta anggota tim, sungguh hanya Allah ta’ala yang bisa memampukan kami
semua mencapai Mahameru. Selesai solat, kami sempat istirahat sebentar. “Aku
duluan ya...mumpung masih ada kekuatan,” kata mas kepada eke yang masih duduk
istirahat. Mas dan pak Mary memutuskan jalan lebih dulu bersama mas Ase,
sebelum mereka - pak Dudung telah lanjut pendakian terlebih dahulu. Itu artinya
eke sendirian bersama sweeper mas
Dede, kiranya mas Eko di sampingku bisa menjadi penyemangatku. Eh, malah
ditinggal. Ok tak masalah, lanjut pendakian bersama mas Dede.
Eke mendaki dengan
terus-terusan terengah-engah dan sering istirahat setiap 5 langkah. Lagipula
pasir dan kerikil yang masuk ke sepatuku semakin lama semakin banyak, membuat
kaki sakit, dan langkah menjadi berat. Alhasil eke sering membuka sepatu untuk
membuang kerikil-kerikil itu. Eke sering mendongak ke atas, melihat tas
bersarung kuning: tas mas Ase, sebagai penanda bahwa mas eke berada tidak
terlalu jauh denganku, kira – kira berjarak 20 menit dariku. Terus melangkah,
kembali istirahat, begitu seterusnya. Selama perjalanan eke dan mas Dede jarang
berbicara, mengatur nafas sendiri saja sudah kewalahan. Mencapai sepertiga
lereng, mas Dede menuntun untuk pindah jalur ke sisi kanan lereng yang mana
semakin curam.
Terus melangkah, mencari-cari pijakan yang aman
Merosot kembali
Terus melangkah, merosot...
Stres!
Lelah, istirahat
Mendongak ke atas
Mengira-ngira, masih jauhkah puncak?
Mengira-ngira, setelah lelah melangkah nanti aku mau duduk disitu!
Terus melangkah, melangkah... merosot!
Tuhan!
Tak terasa diri ini rupanya sudah berada di negeri di atas awan
Awan tampak bergulung-gulung di bawah
Puncak-puncak gunung yang lain tampak terlihat megah
Surya memunculkan berkas sinarnya
Memberikan semangat sekaligus pengingat: diri ini harus bergegas
Melangkah lagi... Lagi-lagi melangkah...
Negeri di Atas Awan |
Merosot lagi, “Mbak, lampunya bisa dimatiin kalo udah ga perlu,” kata mas
Dede. Oh iya, ini sudah jam 05.30. Hhhh...hhh....
Melangkah, “Eh, batunya jangan diinjak!” seru mas Dede.
Betul juga, kita tak akan pernah tahu batu di lereng Mahameru tertanam
sedalam apa. Bisa-bisa setelah menginjaknya, batu itu akan menggelinding mengenai
pendaki di bawahnya layaknya permainan pinball.
Nantinya, kami menemui pendaki wanita yang pingsan di lereng Mahameru karena
kepalanya terbentur batu sebesar 3x buku P&ID perusahaan eke. “Makanya
mbak, kalo ada yang teriak ‘batu-batu’ langsung lihat ke atas, batu itu
nggelinding kemana,” kata mas Dede mengingatkan.
Mencoba melangkah, 1...2...3...
Sesekali meminta minum dari botol mas Dede
Melangkah...
Merosot, bahkan jatuh tersungkur. Sroooot....!
Ya Allah
Ini kenapa susah sekali? Kenapa kaki ini??
Kenapa dengan pasir ini? Tidakkah mau menerimaku?
Istirahat, mematung, melamun
Sambil berdamai dengan diri sendiri
Meredam emosi
“Mbak, mending ngemil dulu. Daripada pingsan, bawa makanan?” mas Dede
mengingatkan. Eke mengeluarkan sebatang coklat, eke menggigit beberapa blok.
“Ini... gigit aja gapapa,” eke menyerahkan coklat itu ke mas Dede. Kletak! “Uh,
keras...” keluh mas Dede. Ah, eke pikir coklat yang dikantongi di saku dapat
menerima panas dari tubuh ternyata kondisi dingin di luar lebih mempengaruhi
tekstur coklat itu. Sembari mengatur tenaga dan emosi, tampak mas Dede membagi
minumannya dengan pendaki lain. Kembali melangkah!
Merosot... Melangkah lagi
Meros...eh, mas Dede rupanya menahan badanku dari belakang
Sembari menatap ke atas, mencari-cari mana pijakan yang aman
Kalau sudah bingung
Seringkali mas Dede memampatkan pasir untuk pijakanku
Kembali melangkah, tenggelam, mencoba melangkah...
Duduk, menghibur diri bahwa posisi diri ini lebih beruntung daripada
pendaki di bawahku
Lanjut melangkah
Mas Dede memutar tembang The Beatles – Nowhere
Man, lagu yang tak sempat eke selami makna liriknya. “Mas Dede, ada komposer
dari Yunani. Namanya Yanni, ngaransemen lagu ini jadi bernuansa Timur Tengah.
Kamu tau?” “Ga tau,” mas Dede menjawab seperlunya. Sepertinya dia juga lelah,
apalagi sudah sampai ke puncak duluan.
Mungkin telah sampai separuh lereng, terdapat
jalur membentuk zig-zag yang cukup mudah dilalui lantaran pasirnya lebih mampat.
Sampai di ujung jalur, eke kembali duduk istirahat. “Udah jam segini, sampai ga
ya? Duh, anginnya mulai turun lagi. Tapi udah disini, nanggung.” Ucapan mas
Dede ini cukup membuat putus asa. Sedih memang. “Di puncak bisa sampai jam
berapa?” tanyaku penuh harap. “Maksimal jam sepuluh, setengah sebelas-an lah. Tapi
nanggung juga, udah disini. Masmu udah nunggu di atas.” “Ok.” Kembali
termenung, eke waktu itu sangat yakin bisa mencapai puncak. Tapi mau sampai jam
berapa? Itulah batasannya. Mau sampai jam berapapun dimanapun, eke usahakan
sepenuhnya.
Maka teruslah eke melangkah dengan kepayahan.
Sambil selalu mendongak ke arah puncak. “Masih jauh ya mas?” “Itu, udah
keliatan.” Tekad eke sudah bulat untuk terus melaju. Jalur lalu mengarah ke
samping kiri, menuju ceruk berbatu bagai membentuk tangga ke atas. Eke memanjat
perlahan – takut terpeleset, penuh konsentrasi meski sangat lelah.
Eke berhasil mencapainya!
Akhirnya eke berada di Atap Tanah Jawa sekitar pukul 09.15!
Subhanallaah wal hamdulillaah walaa ilaha ilallaahu allaahu akbar!
Di dalam bayangan eke selama ini, saat berhasil mencapai puncak – maka
pasti eke akan menangis mengharu biru. Kenyataannya tidak, saat kaki telah
sampai di puncak, perasaan di hati sangat campur aduk sampai tak bisa menangis.
Di dalam hati eke terus-terusan menyebut asma Allah sebagai tanda kesyukuran
penuh rasa takjub tak percaya kenapa bisa sampai ke puncak Mahameru, impian eke
selama ini. Pertama kali yang bisa terucap “Mas, aku disini aja. Aku ga kuat
jalan lagi.” “Itu lho pada kumpul disitu, deket ko.” “Ya udah, tunjukin
jalannya. Aku ikutin,” eke pasrah mengekor mas Dede. Saat itu rasanya ingin
menggapai tangannya, mohon diri ini diseret saja...
My arrival |
Berasa foto prewed di puncak Mahameru |
“Wah, mbak Rima...!” pekik Pak Mary dari kejauhan.
“Lho, kowe iso tekan kene. Tak pikir wis
balik,” mas eke datang menyambut sambil memeluk eke. “Wah, nek ngene iki aku dadi melu mbrebes mili,”
kata pak Mary mulai mengharu biru, dia menyetop kami berdua untuk berfoto
sambil berpelukan. Ya Allah, inilah aku berada di salah satu tempat tinggi-Mu –
Al A’raf. Terima kasih.
Istirahat dulu :) |
Tepar dulu |
When Jonggring Saloka's popping! |
Full team + our patient & cheerful guides: mas Ase & mas Dede |
Serta merta eke segera bergabung ke dalam
lingkaran berkumpulnya rombongan eke, eke segera duduk, melepas sepatu, melepas
jas hujan, meluruskan kaki, makan dan minum-minum yang banyak. Hah, nikmatnya
ya Allah. Anggota tim kami berbincang-bincang dengan asyik dan (anehnya) penuh kegembiraan
tentang perjuangan mencapai puncak Mahameru. Begitulah segala kelelahan kami
terbayar dengan berjuta kebahagiaan setelah mencumbui puncak Mahameru. Puas
istirahat sembari antri properti foto, lalu kami melanjutkan berfoto-foto untuk
merayakan keberhasilan kami.
Hi me! |
Well done for us! I love you bro... |
Full team! |
Di situ ada mbak-mbak yang berbaik hati
terus-terusan menolong kami mengambil gambar. Kami kembali duduk di tempat
istirahat tadi. Mas mulai merekam video saat memanjatkan doa-doa untuk
keberhasilan kami, untuk kebaikan keluarga dan keturunan kami. Disinilah eke
mulai menangis mengharu biru akan doa-doa yang mas panjatkan, tak kuasa eke
menahan air mata yang meleleh. Begitulah Mahameru mampu mengingatkan lemahnya
manusia tentang keagungan Allah SWT dengan caranya sendiri.
Crying on The Top of Java |
Pemandangan di puncak gunung sangat hebat. Kala
itu cuaca sangat cerah, mentari jelas menyinari kami dengan terik namun angin
gunung yang berhembus cukup dingin. Pandangan mata sangat luas ke arah manapun seluas
360 derajat. Ingin rasanya melongok ke bawah melihat kawah Jonggring Saloka
tapi rasanya cukup ngeri juga. Kami cukup menikmati kepulan awan berwarna kuning
kecoklatan dari kawah Jonggring Saloka yang dihembuskan setiap 20 menit sekali.
Dari kejauhan tampak lautan tenang dengan garis-garis gelap disekitarnya, kiranya
itu adalah pulau. Laut manakah itu? Pulau manakah itu? Kami tak tahu.
Thanks mas Dede! :D |
Jalan pulang ke Padang Kalimati |
Puas menikmati puncak Mahameru, sekitar jam 10.30 kami
semua mulai bertolak menuruni lereng meskipun sangat lelah dan di dalam hati
eke bertanya-tanya: ini gimana turunnya? Pasalnya ceruk berbatu yang eke panjat
tadi jadi terasa begitu curam dan mengerikan untuk dilalui. Alhasil eke
gelesotan saat melewatinya. Sampai di lereng berpasir, pak Dudung sudah melaju
jauh demi segera bertemu bu Dudung. Sedang sisa anggota lainnya, menuruni
lereng dengan tertatih-tatih, terutama eke. Mas Ase berbagi cerita bahwa
disinilah dia bertemu dengan istrinya, saat itu dia mengajaknya untuk bermain
ski pasir yang berkali-kali ditolak gadis itu. Lama-kelamaan mas, pak Mary, dan
mas Ase bergerak semakin jauh dariku. Eke sendiri merasa sangat lelah menuruni
lereng pasir dengan cara menapakkan tumit tegak lurus dengan kemiringan lereng.
Sering eke duduk istirahat, kadang nyaris tertidur saking ngantuknya. Tampak
mas Dede juga istirahat mengikutiku. Di lereng pasir sudah cukup sepi pendaki
kala itu, di tengah lereng tampak mbak-mbak yang tengah kepayahan sedang
dipapah kedua temannya. “Eh, kayanya mereka ngikutin kita deh. Biar mereka
jalan duluan deh,” kata mas Dede mengamati wanita yang kepayahan itu. Mereka
berjalan jika kami berjalan, dan duduk jika kami duduk. Memang saat ada yang
melalui lereng itu, serta merta debu segera mengembang menyesaki jalur
pernafasan. Maka mas Dede pun mempersilakan mereka untuk jalan duluan.
Menuruni lereng |
Kami berhasil mencapai Kelik, langkah kaki
terhenti karena ada yang memanggil di balik sela pepohonan “Hei Ma!”. Rupanya pak
Mary dan mas sedang tiduran disitu dengan mas Ase yang menemani. Istirahat di
Kelik sejenak sambil minum-minum dan memulihkan tenaga, tampak mas Dede membuka
dan membersihkan kerikil di sepatunya dalam diam. Kami lanjut perjalanan
kembali dalam langkah kaki yang cukup cepat karena jalur selalu menurun. Jalur
yang semalam kami lewati tampak begitu berbeda nuansanya, nyatanya cukup curam
juga. Eke selalu berpegangan pada cabang-cabang pohon yang ada di kanan kiri
jalur. Saat menuruni jalur itu, eke merasa melalui 2 tikungan De Javu. Ketika ada jalan yang menurun
lalu landai dengan pepohonan perdu, mas Dede mulai mendekati pucuk pohon perdu
itu dan mengambil buahnya. “Uh, asem...” katanya. Sekali lagi ada jalan yang
menurun lalu landai dengan pepohan perdu “Lho, ko sama sih. Jangan-jangan nanti
mas Dede ambil buah disitu lagi,” kata eke keheranan. “Ih, kok podho sih...” kata mas Ase berkelakar. Begitulah kami terus
berjalan dengan cukup cepat meskipun sangat lelah hingga tiba di mulut hutan
tempat kami semalam memulai pendakian. Atap tenda warna-warni di Kalimati mulai
terlihat. Kami tak sabar ingin segera mencapai tenda.
Sesampai di tenda sekitar pukul 12.00, eke dan mas
langsung tidur terlentang meluruskan punggung. Ya Allah, enak banget beneran.
Rasanya enak banget kalau dibuat tidur tapi diluar mas Ase mengajak untuk makan
siang yang sudah disiapkan porter. Karena risih, kami bersih-bersih badan dulu
di dalam tenda. Kiranya kami bersih-bersih badan cukup lama karena badan kami
kotor dan bau sekali, para porter yang menanti kami makan jadi sedikit
mencibir. Hihi, maaf ya pak. Selesai makan, kami mengepak ulang barang bawaan
kami. Dengan tanpa pertimbangan eke dan mas menyerahkan barang-barang yang
berat untuk dibawa porter: baju, makanan yang belum termakan, dan jas hujan. Sebelum
melanjutkan perjalanan menuju Ranu Kumbolo, kami solat dulu di padang Kalimati.
Sekitar pukul 15.30 eke, pak Mary, dan mas melanjutkan perjalanan menuju Ranu
Kumbolo. Tentu bapak ibu Dudung sudah berjalan mendahului kami sebelumnya,
sedang mas Ase dan Mas Dede masih sibuk membereskan tenda.
Rupanya pak Mary juga banyak melepaskan barang
bawaannya untuk dibawa porter, termasuk jas hujannya. “Nanti hujan ga ya? Ah,
kayanya ga deh. Jalan terus aja lah ya...” “Eh, kami juga ga bawa jas hujan lho
pak. Dibawa porter,” kata mas menjelaskan. “Ah, ya sudahlah ya...” Kami
berjalan dengan penuh semangat kala itu, meskipun juga sering istirahat. Di
Jambangan, kami mulai disalip porter kami. “Wah, njenengan cepet banget mas?” seru mas kepada porter. “Lha, njenengan kok suwe mas...” timpal porter
itu. Hoho. Jambangan terlalui, kami memasuki hutan Cemoro Kandang. Sore hari
itu banyak pendaki yang berjalan menuju Kalimati, banyak di antara mereka
tampak kelelahan. Kami yang bahagia sudah mencapai puncak selalu melempar
semangat kepada pendaki-pendaki itu. Di tengah hutan Cemoro Kandang titik-titik
air mulai jatuh dari langit. Intensitasnya sedikit “Embun apa ya?” kata mas penuh
harap tentunya. Namun nyatanya titik-titik hujan itu mulai jatuh beramai-ramai,
meskipun tidak deras. “Waduh, ga bawa jas hujan eh...Moga-moga ga deres dah
ya,” kata mas sambil mulai memakai kupluknya yang bau. Kami terus berjalan
menyusuri Cemoro Kandang sembari menghiraukan titik-titik hujan yang jatuh dari
langit. Namun alhamdulillah sekiranya mendekati bibir Cemoro Kandang, hujan
telah berhenti. “Wah, kupluknya mas Eko itu yang manjur buat nangkal hujan,”
canda pak Mary. Hujan telah berhenti, namun kesulitan selanjutnya muncul: kabut
tebal mulai menyelimuti pandangan kami pasca hujan tadi. Jarak pandang
kira-kira 20 m. Disini kami mulai khawatir, takutnya karena kabut tebal itu
bisa membuat kami hilang arah apalagi hari semakin senja. Syukur alhamdulillah
disitu kami sudah disusul mas Ase dan mas Dede.
Kami memutuskan untuk menyusuri bukit saat melalui
Oro-oro Ombo dengan memperhitungkan jalur di ujungnya yang tak terlalu curam.
“Wah, senangnya dibelai-belai tanaman ungu,” ujar mas Dede setibanya di Oro-oro
Ombo. Saat menyusuri jalur setapak tipis di lereng bukit, eke mulai tertinggal
dari mas, pak Mary, dan mas Ase. Gelapnya suasana dan telapak kaki yang sakit
cukup menghambat pergerakan eke. Jalur yang tipis itu pun mampu membuat eke
terperosok “Hei, jalannya jangan cepet-cepet,” seru eke kepada anggota tim yang
sudah cukup jauh di depan. “Mbak ga usah cepet-cepet, santai aja,” kata mas
Dede. Oh iya ada mas Dede. Eke menurutinya. Selanjutnya menyusuri bukit sambil ngobrol dengannya.
“Mbak dari Tuban?” “Engga, saya dan mas asalnya
dari Semarang. Saya kerja di Tuban, mas tinggal di Jogja tapi kerja di
Kalimantan.” “Wah, Semarang dekat sama itu... Karimun Jawa!” “Iya, itu tapi
harus ke Jepara dulu yang jaraknya 2 jam.” “Bagus lho disitu.” “Iya.” “Btw,
kalo nginep disini sebenernya lebih anget lho.” “Disini? Oro-oro Ombo
maksudnya?” “Iya, tapi banyak ularnya.” “Iya ya...banyak semak-semak disini. Di
sekeliling tenda harus dikasi garem ya mas?” “Iya, ular kulitnya jadi perih
kalo kena garem. Saya suka kuliner, tapi kalo pas makan nyobanya dikit aja.
Makanya ga gemuk-gemuk. Di Semarang ada apa?” “Di Semarang ada tahu
gimbal...lunpia...” hanya nama itu yang terlintas di pikiran eke. “Mas udah mendaki
gunung mana aja?” “Banyak mbak...” “Merapi?” “Udah sering kalo itu...saya malah
lebih seneng mendaki sendiri.” “Wah, ga takut ya. Hhh...hhh... sebentar minum
dulu...” “Ma...!” kata mas di ujung sana memanggil eke.
Kami semua sudah di atas Tanjakan Cinta. Satu lagi
tantangan yang harus dilalui. Eke sudah sangat lelah kala itu dan kaki pun
sangat sakit. Eke enggan menuruni Tanjakan Cinta, tapi harus dilakukan. Merasa
lemah dalam menuruni Tanjakan Cinta, eke menghimbau pak Mary untuk jalan duluan
memberikan pedoman eke untuk mengekornya. Karena cukup curam, eke pun sempat
jatuh terduduk disitu. Lanjut perjalanan dengan perlahan-lahan hingga sampai ke
dasar bukit dengan selamat. Mas Ase berjalan mendahului kami, dia berencana
nanti malam ingin ke pos 3 mencari sinyal demi menelepon nyonya. Sedangkan mas
Dede mengarahkan kami menuju tenda. Kami pun mempercepat langkah untuk segera
meraih tenda.
Sesampainya di tenda, eke dan mas langsung menata
barang bawaan, matras dan sleeping bag.
Tak lupa kami berganti baju bersih. Di luar mas Ase mengabarkan bahwa makan malam
telah siap tapi makannya tetap di dalam tenda saja karena shelter ramai. Eke
sendiri malas makan dan lebih memilih cepat tidur. Mas berbaik hati untuk
mengambilkan makanan untukku. Selesai makan, mas Ase memanggil dari balik
tendanya untuk membahas perjalanan esok hari, kami sepakat untuk membahasnya
dengan tetap berada di dalam tenda karena semua tenda kami berdiri berdekatan.
Kami telah mengerti poin-poinnya, lalu mas Ase bertanya tentang jadwal singgah
di Bromo. “Wah, kalo itu coba tanya Pak Mar, Mas...” seru pak Dudung dan mas.
“Pak Mar, besok jadi mampir ke Bromo...? Pak Mar...Pak Mar...?” pertanyaan mas
Ase rupanya dijawab dalam diam.
Selesai solat akhirnya waktu istirahat tiba. Di tenda
sebelah terdengar mas Ase dan mas Dede sibuk menyusun rencana untuk pendakian
selanjutnya dengan tim lain. Di ujung lain terdengar percakapan seru dalam
berbagai dialek. Malam itu Ranu Kumbolo tidak terlalu dingin pasca gerimis yang
terjadi di sore hari, mas dan eke pun tidur dengan kaki tetap terbungkus
plastik. Eke mudah terlelap dalam penguasaan lelah yang amat sangat tanpa
terganggu keadaan sekitar. Sesekali di tengah malam eke terbangun, mendengar
suara gelisah dari balik tenda sebelah – sepertinya suara mas Dede. Eke kembali
terlelap, tidur dalam senyum tipis tersungging, puas akan segala sesuatu yang
telah dilalui hari ini.
Artikel berkesinambungan:
0 1 2 3 4 5
Comments
Post a Comment