Perjalanan Penuh Makna – Mencapai Puncak Mahameru : Hari Kedua
Menikmati Indahnya Ranu Kumbolo
Hari belum juga subuh.
Diri ini masih dalam balutan antara sadar dan mimpi. Entah mana yang benar.
Sayup-sayup keriuhan di luar mulai terdengar, mata masih enggan untuk terbuka.
Suara pak Mary jelas memecah semua ilusi “Mas, bangun mas! Langitnya, masya
Allah!” “Iya, mau tidur bentar nih!” timpal mas eke sedikit gusar. Kami yang
sedari malam mendengar ocehan tentang fotografi milky way jelas bisa membayangkan bagaimana rupa langit di luar.
Lama-kelamaan kami tidak bisa bertahan lama di dalam tenda, selain percuma saja
mencoba tidur di riuhnya suasana subuh juga karena tertarik melihat mentari
terbit di luar sana. Akhirnya mau tak mau kami keluar, dan......dingiiiiinnyaaaaaa
ya Allah. Menggigit! Suhu yang tertangkap di termometer ruang milik mas eke
menunjukkan 10 degC. Entah semalam suhu mencapai berapa degC kami tak tahu.
Mungkin lebih baik tidak tahu.
Di luar memang sangat
dingin, namun gradasi biru muda di antara dua bukit itu berhasil membuat kami
terpukau. Bulan sabit masih menggantung dengan anggun di kaki langit yang
tampak biru gelap. Dia tidak sendirian, namun ditemani bintang yang tak jauh
dari bulan itu. “Ini bulan apa sih?” tanya mas eke merujuk pada penanggalan
Islam. Allah
memberkati subuh kala itu di akhir bulan Rajab dengan cuaca yang cerah, bersih
dari awan dan kabut.
Subuh di Ranu Kumbolo 25 Rajab 1435 H |
Berselimut kabut Ranu Kumbolo |
Subhanallah
wal hamdulillah. Lambat laun sebersit rona oranye mulai menghiasi celah
perbukitan itu. Pemandangan seperti itulah yang diam-diam mampu membuat bibir
kami tersenyum dan mengisi celah-celah hati kami dengan kebahagiaan. Mumpung
masih dalam suasana subuh, kami tak lupa solat berjamaah. Masih bersuci dengan
cara tayamum. Selesai solat, kami kembali memandangi ke arah Ranu Kumbolo.
Sambil hunting beribu foto. Matahari kian lama kian naik, sinarnya
membuat Ranu Kumbolo berkilauan.
Sinar itulah yang menerangi sehingga tampak di
permukaan danau: kabut yang melapisi permukaannya. Kabut itu tampak menari-nari
riang di permukaan air, meluncur bebas seolah tanpa kaki. Cantik.
Kabut yang menggelinding bebas di permukaan Ranu Kumbolo |
Di saat menikmati
keindahan Ranu Kumbolo, eke mulai merasakan desakan di perut. Huhu, pengennya
eke ga perlu pup selama pendakian. Tapi apa daya, pencernaan eke alhamdulillah
selalu lancar tiap pagi. Ya sudah, mumpung suasana juga belum terang benar dan
daripada perjalanan terganggu perasaan tak nyaman. Eke minta tolong temeni mas
eke untuk pup di balik semak-semak sekitar lereng bukit Ranu Kumbolo. Menggunakan
sistem: gali lubang-tutup lubang yang bersenjatakan sekop kecil dan tisu basah
hehe. Eke merasa kesulitan saat menggali lubang disitu karena permukaan tanah
cukup lebat ditumbuhi rumput. Namun akhirnya hajat selesai dengan tuntas hehe
alhamdulillah. Sekembalinya di tenda, tampak Bu Dudung hanya berdiam diri saja
di dalam tenda. Beliau takut kalo terlalu banyak gerak akan memicu desakan di
perut. Hehe eke sendiri udah lega pup di semak-semak, ga peduli mau pup dimana
yang penting perut lega, hasil galian pun cantik. Hihihi.
Bu Dudung di balik tenda menampakkan rona khas kecantikan Kalimantan |
Cheers sister & brother! |
Sekembalinya di tenda,
eke dan mas semangat untuk melanjutkan perjalanan. Entah ada api apa yang
memantik semangat kami yang semalaman kurang tidur sehingga mau segera
membereskan isi tenda, mengeluarkan barang bawaan untuk diserahkan ke porter,
berganti pakaian treking, dan tak lupa gosok gigi. Dari luar mas Ase memanggil
kami untuk sarapan di shelter. Menu makanan pagi itu kalau tidak salah nasgor.
Eke makan cukup banyak, puas setelah diakhiri dengan segelas teh manis hangat.
Mas Ase menghimbau kami untuk membawa persediaan air mineral botolan, 2 botol
untuk masing-masing orang. Karena persediaan air botolan tinggal itu, untuk
selanjutnya disediakan air gunung. Eke sendiri ga masalah mau minum air apa,
yang penting air bersih yang bisa melepas dahaga. Selesai makan, kami kembali
ke lokasi tenda.
Treking Ranu Kumbolo - Kalimati
Mas Dede membereskan tenda |
Mas Ase dan Mas Dede
tampak sibuk membereskan tenda. Mereka membolehkan kami untuk jalan duluan.
Kala itu bapak ibu Dudung sudah berangkat mendahului kami. Lalu pukul 8 selanjutnya
kami bertiga: eke, mas Eko, dan pak Mary ikut menyusul. Yes! Semangat
melanjutkan perjalanan dengan beban di punggung yang berkurang karena
dititipkan ke porter *dasar lemah, haha.
Turunan Jomblo (aka Tanjakan Cinta) |
Rintangan pertama adalah: Tanjakan
Cinta... eh, Turunan Jomblo kalo kata Mas Dede, nama itu ada betulnya juga kalo
dilihat dari persepsi lain yang pesimis. Hahaha. Akhirnya eke mengerti bahwa
spot-spot penting pendakian diganti namanya dengan tema per-jomblo-an oleh mas
Dede. Turunan Jomblo ini jinak-jinak merpati. Tak seindah bayangan saat
melaluinya, alias nanjak abis. Eke sendiri sering berhenti untuk istirahat
sambil mengatur nafas saat melintasinya. Semakin ke atas semakin curam. Tapi
akhirnya eke sampai juga di atas... hosh...hosh, disambut mas dan pak Mary yang
telah menunggu. Merayakan keberhasilan sejenak di atas Turunan Jomblo, sambil
mengatur nafas dan melihat pemandangan di bawahnya yang indah. Ranu kumbolo
dengan tenda warna-warni di sekelilingnya di satu sisi dan padang Oro-oro Ombo
dengan hamparan tanaman berwarna ungu di sisi yang lain. Masya Allah, indah!
Jalan kita masih panjang |
Rasanya ingin segera
menggapai padang Oro-oro Ombo dan menikmati sensasi berjalan di antara semak
berbunga ungu. Untuk mencapai padang Oro-oro Ombo ini ada dua jalur dari puncak
Tanjakan Cinta, sisi kanan dan sisi kiri. Jalur sisi kanan ini akan membawa
kita menuruni lereng bukit yang cukup curam, setelah lereng dilalui maka kita
akan di bawa menyusuri jalan setapak datar di antara rimbunnya bebungaan ungu.
Jalur sisi kiri memberikan pilihan yang lebih mudah karena jalurnya landai
menyusuri lereng perbukitan. Di jalur kiri ini kita bisa memandang hamparan
tanaman ungu di bawahnya.
Bersiap menuruni lereng bukit |
Tim kami lebih memilih melintasi jalur kanan untuk
bisa menikmati padang bunga ungu. Alhasil eke harus menuruni lereng bukit
dengan perlahan, lerengnya cukup curam. Eke berjalan setapak demi setapak demi
mencari pijakan yang aman. Leganya setelah mencapai dasar bukit dengan selamat.
Saatnya melintasi jalur trek datar dengan hamparan bunga ungu!!!
Oro-oro Ombo |
Ini dia Oro-oro Ombo!
Dari dasar bukit kami berjalan terus menyusuri jalan setapak yang datar. Uh,
senangnya kalo trekingnya seperti ini terus. Lama-lama jalur membawa kami
memasuki hamparan tanaman berbunga ungu. Perlu diingat ini bukan tanaman
lavender seperti yang sering dipopulerkan oleh khalayak umum, tapi Verbena brasiliensis. Tanaman ini bukan tanaman endemik di Semeru. Tanaman ini tumbuh lebat setinggi pundak manusia. Suara langkah kaki
kami diiringi suara kresek-kresek oleh cabang tanaman yang membelai badan kami.
Dibelai tanaman ungu |
Tanaman ungu dilihat dari dekat |
Pemandangan di sekeliling tampak mengesankan. Di depan tampak jajaran
perbukitan berpohon cemara dengan awan yang menggantung hingga ke puncak
perbukitan. Kami pun cukup banyak mengambil gambar di padang Oro-oro Ombo.
Jalur setapak akhirnya mengarahkan kami meninggalkan rimbunnya tanaman ungu di
belakang. Menuju perbukitan berpohon cemara yang tenar disebut Cemoro Kandang.
Disini kami sudah disusul oleh mas Ase dan mas Dede. Hihi jalan kami memang
lamban, apalagi ditambah sering berpose di indahnya Oro-oro Ombo.
Menuju Cemoro Kandang |
Sampailah kami di
bibir Cemoro Kandang. Rombongan berkumpul kembali. Tampak bapak ibu Dudung
sudah beristirahat di situ, kami pun juga ikut istirahat sejenak melepas lelah.
Rupanya di situ masih ada penduduk yang menjajakan barang dagangannya. Hebat.
Lokasi Cemoro Kandang ini memang sesuai dengan namanya, dimana-mana terdapat
pohon cemara layaknya lagu “Naik-naik ke Puncak Gunung”. Suasana sangat hijau
dan asri. Puas mengobati lelah, kami melanjutkan treking kembali. Seperti
biasa, kami treking sambil ngobrol agar suasana lebih ceria. Beberapa saat
menjauh dari bibir Cemoro Kandang, mas Ase tampak minta izin untuk pup di balik
semak-semak. Kami menunggu sambil melemaskan otot-otot kaki. O iya, mulai
treking disini tulang yang menonjol di pundak kiri eke terasa sakit, nyeri.
Mungkin karena posisi yang salah saat memakai tas atau bantalan pundak tas yang
kurang tebal. Bagaimanapun pundak kiri eke akhirnya eke ganjal dengan gumpalan
sarung tangan saat menggendong tas. Ok, lanjut perjalanan.
Hamparan semak berbunga di Cemoro Kandang |
My lovely gear :) |
Hari itu hari yang
cerah, udara di Cemoro Kandang pun sejuk, membuat pendakian terasa
menyenangkan. Deretan pepohonan cemara turut membuat hati menjadi hijau dan
tenteram. Sepanjang perjalanan tampak beberapa pohon cemara yang tumbang, ada
yang melintang jalan, ada pula yang tampak gosong kayunya – kiranya tersambar
petir. Di tengah perjalanan, giliran bu Dudung minta izin untuk pup ditemani
pak Dudung yang membantunya menggali lubang (menjelang akhir cerita kita akan
mengerti bahwa pak Dudung adalah suami yang romantis). Kami pun menunggu sambil
beristirahat. Kala itu mas Dede meminta losion anti UV dariku, dan mas Ase
mulai memakai payung ungu. “Biar ganteng,” kata mereka. Lanjut perjalanan,
jalur yang tadinya landai lama-lama menjadi menanjak. Tak ayal kami jadi sering
istirahat saat dirasa nafas sudah ngos-ngosan. “Kayu-kayu!” pekik bu Dudung
saat menemukan kayu yang melintang di ujung jalan. Maksudnya adalah kayu tsb
jadi spot istirahat kami yang mudah ngos-ngosan saat jalur mulai menanjak. Kami
pun duduk-duduk di batang kayu yang melintang. Tak jarang kami menemui
rombongan pendaki lain, kami saling bertegur sapa dan memberikan semangat. Di
Cemoro Kandang ini kami juga sering bertemu Superman
alias porter yang membawa beban lebih dari bawaan kami dan berjalan lebih
lincah daripada kami.
Superman dari desa Ranupani (aka porter) |
Memang di jalur Cemoro Kandang ini jadi akses
satu-satunya menuju Kalimati, tidak seperti treking Ranupani-Ranu Kumbolo yang
mana porter lebih senang lewat jalur Ayak-ayak daripada lewat jalur normal
pendakian
Jadi begitulah ritme
perjalanan kami saat melintasi Cemoro Kandang yang menanjak, selalu istirahat
ketika ada kayu yang melintang. Hehe. Mas Ase dan mas Dede yang sudah hafal
betul rute pendakian Semeru tak bosan mengingatkan berapa sisa jumlah tanjakan
yang akan kami lalui. “Nah, ini tanjakan yang terakhir!” kata mas Ase memberi
harapan. “Beneran mas, perasan dari tadi nanjak terus?” kata bu Dudung tak
percaya. “Beneran ini yang terakhir Bu. Haha.” Nyatanya itu memang tanjakan
terakhir di Cemoro Kandang. Maka, sampailah kami di Jambangan. Di daerah yang
bertanah lapang, kami bertemu dengan banyak rombongan lain yang ramai berfoto
disitu.
Rupanya disitu memang spot yang ideal untuk berfoto dengan latar belakang
Mahameru yang agung. Kami pun ikut berfoto bersama. Guides memandu kami untuk istirahat di situ, kami duduk berlindung di
bawah bayang-bayang pohon perdu. Segera kami minum, melemaskan otot, mengoles
kembali krim anti UV, dan ngemil.
Mahameru tampak dekat
dilihat dari Jambangan tempat kami beristirahat. Gunung itu kokoh berdiri,
menampakkan lereng-lerengnya yang gahar, curam dengan bebatuan dan pasir.
Seketika itu juga membuat kami berfikir “Itu beneran bisa didaki mas?” kata eke
meragu. “Iya, nanti ada jalurnya ko. Ini memang musim kemarau, jadi nanti
jalurnya lebih berdebu. Kan engap tu, kita udah ngos-ngosan naik, mana
pernafasan berdebu lagi. Tambah engap. Memang ada sedikit perlakuan khusus saat
mendaki di musim kemarau.” kata mas Ase menjelaskan dengan semangat. Apapun
yang terjadi nanti, eke akan mendaki semampunya. Sekuat yang bisa eke berikan. Kami
beristirahat cukup lama disitu, sembari pipis-pipis juga. Setelah selesai
istirahat, lanjut perjalanan menuju Kalimati.
Perjalanan menuju
Kalimati cukup menyenangkan, trek landai cenderung menurun dengan tanah yang
mulai berpasir. Di kanan kiri jalur pendakian banyak tanaman perdu yang lebat,
tampak pula mawar hutan berwarna kuning cerah yang mengingatkan eke dengan
cerita bos di kantor tentang dirinya dan rombongannya yang tersesat selama 7
hari saat menuruni Mahameru pasca badai yang memporak-porandakan jalur
pendakian. Mereka bertahan hidup, salah satunya dengan memakan mawar hutan.
Untuk memecah kesunyian, eke memutar mp3 dari BB. Tibalah mp3 memutar lagu
“Mahameru” yang dibawakan oleh band Dewa 19. Nyatanya lirik lagu tsb mampu
memompa semangat kami menuju Kalimati sambil bernyanyi-nyanyi. Sampailah kami
di padang Kalimati sekitar pukul 12 siang.
Perjalanan yang cukup cepat dan
menyenangkan. Guides menuntun kami
menuju tempat tenda didirikan. Eke dan mas serta merta segera memasuki tenda
untuk beristirahat. Pak Dudung dan Pak Mary memilih mengisi waktu senggang
dengan mengunjungi Sumber Mani – sumber air terakhir sebelum mencapai puncak
bersama dengan guides. Eke sendiri
dan mas mencoba tidur dengan sia-sia di dalam tenda karena berisiknya celoteh
pendaki lain yang nge-camp di
Kalimati.
Padang Kalimati |
Makanan kami |
Sekiranya 1.5 jam
berlalu, terdengar derap langkah Pak Mary memasuki tendanya yang ada di sebelah
tenda kami. Di luar mas Ase mengajak kami untuk makan siang. Seperti biasa,
kami makan siang dengan lahap dan riang. Selesai makan siang lalu solat, eke
dan mas kembali ke dalam tenda. Lagi-lagi mencoba tidur, niatnya adalah untuk
menyimpan tenaga dalam rangka menuju puncak. Kala itu mas mengeluarkan
senjatanya untuk tidur: sumbat telinga. Alhasil, dia bisa tidur cukup nyenyak.
Eke sendiri tidur-tiduran ayam, dan sering keluar tenda untuk pipis sambil
melihat-lihat keadaan sekeliling. Eke berani pipis sendiri di kala siang. Hehe.
Jangan lupa solat, hoho. |
Kembali ke tenda, hari
mulai sore. Eke dan mas sudah mempersiapkan kostum dan barang bawaan untuk
pendakian ke puncak. Di luar tampak seseorang berteriak, entah suara mas Ase
atau suara mas Dede yang sudah familiar di kuping eke “Hoi, tim dari PMI...! (karena kurang jelas, eke
dengernya PMI) Mana tim PMI?!
Temennya ada yang ilang woi!” deg, langsung berasa tegang diri ini. Terdengar
suara pembicaraan serius antara mas Dede/mas Ase dengan pak Dudung. Di dalam
hati, eke hanya bisa berdoa semoga orang hilang itu segera ketemu dalam keadaan
sehat. Menjelang matahari tenggelam, eke sempatkan berjalan-jalan di padang
Kalimati. Kabut mulai turun, hawa dingin mulai menyelinap tapi tidak terlalu
dingin. Sore itu titik-titik air mulai turun dari langit, karena intensitasnya
kecil, rasanya itu hanya embun yang terkondensasi. Namun rupanya sesekali
kilatan cahaya tampak di langit, hei apakah itu kilat?
Selepas jam 18.00 mas
Ase memanggil kami untuk makan malam. Perasaan baru makan beberapa jam yang
lalu deh. Kami makan bersama di shelter, sambil ngobrol dengan topik perbincangan
yang hangat: alasan berpoligami dan cerita tentang pendaki yang tersesat tadi.
Mas Ase menceritakan saat dirinya mencari sinyal di Kelik untuk menelepon
nyonya, ada suara orang memanggil-manggil nama ‘Susilo’. Mas Ase bertemu dengan
orang yang memanggil-manggil nama Susilo tsb. Akhirnya mereka bersama mencari
Susilo dengan dipimpin oleh mas Ase. Susilo akhirnya ketemu di sekitar lokasi
Blank 75. “Katanya dia ngikuti orang. Abis itu kecapekan, ketiduran. Diberi
minum oleh seseorang, tapi orang tsb kalo diajak ngomong diem aja ga mau
nyahut. Sama dia lihat jejak macan, gitu.” cerita mas Ase. “Hiii...” eke jadi bergidik
sambil memandang mas Dede yang kebetulan duduk di sebelahku. “Kalem aja mbak,”
katanya nyengir. Ok makan malam sudah selesai, saatnya mas Ase memimpin tech meet untuk rencana summit attack malam ini. Perbincangan
berlangsung serius, semua anggota tim merasa perlu mendengar dengan seksama
untuk keselamatan dan kemaslahatan masing-masing.
“Nah, malam ini kita
akan summit attack. Rencananya kita
mulai jam 23.00. Gimana, sepakat?” kata mas Ase memulai. “Eh, ga terlalu awal
itu? Jam 01.00?” “Ya sudah, tengah-tengah saja. Jam 00.00,” “Ok, kalo begitu
saya bangunin jam 23.30 ya pak,” kata mas Ase. “Ok,” semua mengiyakan. “Jadi,
nanti kita akan melewati medan yang berbeda-beda. Pertama tanah berkerikil,
lalu tanah lembut, yang ketiga pasir dan bebatuan. Kita jalannya pelan-pelan
aja untuk ke puncak. Udah disiapin ya pak pakaiannya untuk ke puncak nanti? Sarung
tangan, masker, jas hujan, kalo ada kaca mata bisa dipakai karena medannya
nanti cenderung berdebu. Mending nanti bajunya udah dipakai sebelum tidur.
Nanti di atas jangan kaget kalo ada pendaki yang jalannya
cepat...clap...clap...clap...lalu berhenti ngos-ngosan. Kita pelan-pelan aja.
Kalo udah di atas, pas istirahat gitu, ati-ati. Soalnya kalo badan udah
berhenti itu jadinya dingin. Takutnya kena hipo,” kata mas Ase menjelaskan.
“O iya, pendakian kali
ini kita lewat jalur baru. Jalur yang lebih cepat dan ga ekstrim, karena ga
perlu lewat pos Arcopodo, langsung dari Kalimati. Meskipun nanti di atas ada
persimpangan yang menghubungkan dengan jalur Arcopodo lama. Tiap orang bawa
minum 2 botol ya. Soalnya di atas bakal gampang haus apalagi dengan adanya
debu, tapi kalo udah minum jangan langsung glek-glek gitu, itu malah bikin
lemes. Cukup membasahi kerongkongan aja. Sama bawa makanan ringan untuk
persediaan energi kita. Nanti malam kita sarapan dulu, ada roti dan telur, dan
saya siapin buah pir juga. Biasanya itu di puncak banyak pendaki lain yang
minta air minum. Nah, kalo misal dimintai, pikirin juga persediaan buat
masing-masing, apakah masih cukup. Saran saya kalo kita masih dalam posisi
mendaki, sebaiknya ga usah dikasi. Tapi ya itu terserah sambil lihat kondisi
masing-masing.”
“Teknis jalannya
gimana mas? Medan yang dilalui gimana di atas sana?” tanya eke. “Biar lebih
efisien, sebaiknya jalan di bekas pijakan orang saat jalan di tanah berpasir.
Karena tanahnya sudah lebih padat dan kaki kita ga perlu terlalu tenggelam. Medan
yang paling susah itu setelah batas vegetasi karena pasir dan batu serta curam,
jadi kita gampang merosot. Jalannya biasa aja, kalo ada tracking pole bisa juga dipakai.” “Perlu tali ga mas? Jadi, nanti
badan kita bisa dililit tali,” tanya mas eke. “Hm... buat jaga-jaga, boleh aja
sih dibawa pak. Tapi kalo menurut saya ga perlu pake tali. Takutnya kalo diiket
di tali, satu jatuh, semuanya ikut jatuh” terang mas Ase.
“Ritme jalannya gimana
mas? Lima langkah istirahat, atau tujuh langkah istirahat, atau gimana?” tanya
pak Dudung. “Terserah sih pak, sesuai kesepakatan aja dan lihat kondisi. Malam
ini istirahat, kalo pas mendaki nanti ga kuat, sampai di manapun nanti akan kami
antar kembali ke tenda. Jadi, ga perlu dipaksakan.”
“Untuk cuaca sendiri,
kira-kira gimana mas? Takutnya kalo hujan,” tanya mas eke memastikan.
“Cuacanya... insya Allah terang pak. Semoga, kalo lihat situasi. Ok, sampai
disini ada yang ditanyakan? Kalo sudah jelas semua, silakan istirahat, nanti
malam saya bangunkan jam 23.30 ya pak untuk sarapan.”
Kami kembali ke tenda.
Eke dan mas berganti kostum treking sebelum tidur, kali ini dengan kaki
dibungkus plastik agar lebih hangat mengikuti tips dari mas Dede. Sekitar pukul
20.30 kami mulai meringkuk di dalam sleeping
bag, rupanya menginap di Kalimati tak sedingin di Ranu Kumbolo. Suasana camp Kalimati masih ramai, bahkan
semakin malam semakin ramai oleh pendaki yang berangkat summit attack. Kami kembali tidur-tiduran ayam. Rupanya tenda kami
terletak di pinggir jalur pendakian, terdengar suara seseorang di luar
mengarahkan jalur pendakian “Mas, yang ke puncak Semeru lewat sini. Hei, lewat
sini!” Jalur baru tsb rupanya belum banyak diketahui orang. Eke sendiri sampai
saat ini masih bertanya-tanya, siapakah orang yang mengarahkan ke rute baru
tsb? Apakah jagawana atau porter? Umum diketahui bahwa izin pendakian Semeru
hanya disarankan sampai Kalimati saja oleh petugas TNBTS.
Kami
tidur dan terbangun dalam gelap malam. Lalu benar-benar terjaga sekitar pukul
23.00 sesuai penunjukan jarum jam tangan yang berpendar dalam gelap.
Tuk... tuk... tuk... rasa-rasanya ada yang menetes mengenai atap tenda. “Iki ndak udan?” tanya eke mencari kepastian.
Tuk.. tuk.. tuk.. tuk.. tuk.. tuk... bress...! “Iya mbak, hujan nih,” kata Pak Mary
menimpali dari balik tendanya. Kondisi hujan kala itu cukup membuat hati kami
galau, bagaimana kalo hujannya ternyata awet sampai subuh? Bisa kacau jadwal
kami. Tapi toh diluar banyak pendaki yang tetap menembus hujan untuk summit attack, hebat. Jika disuruh
memilih, eke lebih memilih tidak berhujan-hujan ria, takut terkena risiko
hipotermia. “Ya udah, kita tunggu aja,” kata pak Mary menimpali. Dari tenda
sebelah terdengar pak Mary memutar deretan tembang-tembang dari penyanyi Maher
Zein. Lagu-lagu berjudul “Insya Allah”,
“Alhamdulillah”, menyatu dengan suara
tetesan hujan. Kami tetap bertahan di dalam tenda, mengerjap-ngerjap dalam
diam. Berharap dan menunggu hujan segera reda.
Artikel berkesinambungan:
Comments
Post a Comment