Perjalanan Penuh Makna – Mencapai Puncak Mahameru : Hari Kedua

Menikmati Indahnya Ranu Kumbolo

                Hari belum juga subuh. Diri ini masih dalam balutan antara sadar dan mimpi. Entah mana yang benar. Sayup-sayup keriuhan di luar mulai terdengar, mata masih enggan untuk terbuka. Suara pak Mary jelas memecah semua ilusi “Mas, bangun mas! Langitnya, masya Allah!” “Iya, mau tidur bentar nih!” timpal mas eke sedikit gusar. Kami yang sedari malam mendengar ocehan tentang fotografi milky way jelas bisa membayangkan bagaimana rupa langit di luar. Lama-kelamaan kami tidak bisa bertahan lama di dalam tenda, selain percuma saja mencoba tidur di riuhnya suasana subuh juga karena tertarik melihat mentari terbit di luar sana. Akhirnya mau tak mau kami keluar, dan......dingiiiiinnyaaaaaa ya Allah. Menggigit! Suhu yang tertangkap di termometer ruang milik mas eke menunjukkan 10 degC. Entah semalam suhu mencapai berapa degC kami tak tahu. Mungkin lebih baik tidak tahu.

                Di luar memang sangat dingin, namun gradasi biru muda di antara dua bukit itu berhasil membuat kami terpukau. Bulan sabit masih menggantung dengan anggun di kaki langit yang tampak biru gelap. Dia tidak sendirian, namun ditemani bintang yang tak jauh dari bulan itu. “Ini bulan apa sih?” tanya mas eke merujuk pada penanggalan Islam.  Allah memberkati subuh kala itu di akhir bulan Rajab dengan cuaca yang cerah, bersih dari awan dan kabut.




Subuh di Ranu Kumbolo 25 Rajab 1435 H

Berselimut kabut Ranu Kumbolo



Subhanallah wal hamdulillah. Lambat laun sebersit rona oranye mulai menghiasi celah perbukitan itu. Pemandangan seperti itulah yang diam-diam mampu membuat bibir kami tersenyum dan mengisi celah-celah hati kami dengan kebahagiaan. Mumpung masih dalam suasana subuh, kami tak lupa solat berjamaah. Masih bersuci dengan cara tayamum. Selesai solat, kami kembali memandangi ke arah Ranu Kumbolo. Sambil hunting beribu foto. Matahari kian lama kian naik, sinarnya membuat Ranu Kumbolo berkilauan.




Sinar itulah yang menerangi sehingga tampak di permukaan danau: kabut yang melapisi permukaannya. Kabut itu tampak menari-nari riang di permukaan air, meluncur bebas seolah tanpa kaki. Cantik.

Kabut yang menggelinding bebas di permukaan Ranu Kumbolo


Di saat menikmati keindahan Ranu Kumbolo, eke mulai merasakan desakan di perut. Huhu, pengennya eke ga perlu pup selama pendakian. Tapi apa daya, pencernaan eke alhamdulillah selalu lancar tiap pagi. Ya sudah, mumpung suasana juga belum terang benar dan daripada perjalanan terganggu perasaan tak nyaman. Eke minta tolong temeni mas eke untuk pup di balik semak-semak sekitar lereng bukit Ranu Kumbolo. Menggunakan sistem: gali lubang-tutup lubang yang bersenjatakan sekop kecil dan tisu basah hehe. Eke merasa kesulitan saat menggali lubang disitu karena permukaan tanah cukup lebat ditumbuhi rumput. Namun akhirnya hajat selesai dengan tuntas hehe alhamdulillah. Sekembalinya di tenda, tampak Bu Dudung hanya berdiam diri saja di dalam tenda. Beliau takut kalo terlalu banyak gerak akan memicu desakan di perut. Hehe eke sendiri udah lega pup di semak-semak, ga peduli mau pup dimana yang penting perut lega, hasil galian pun cantik. Hihihi.




Bu Dudung di balik tenda menampakkan rona khas kecantikan Kalimantan



Cheers sister & brother!


                Sekembalinya di tenda, eke dan mas semangat untuk melanjutkan perjalanan. Entah ada api apa yang memantik semangat kami yang semalaman kurang tidur sehingga mau segera membereskan isi tenda, mengeluarkan barang bawaan untuk diserahkan ke porter, berganti pakaian treking, dan tak lupa gosok gigi. Dari luar mas Ase memanggil kami untuk sarapan di shelter. Menu makanan pagi itu kalau tidak salah nasgor. Eke makan cukup banyak, puas setelah diakhiri dengan segelas teh manis hangat. Mas Ase menghimbau kami untuk membawa persediaan air mineral botolan, 2 botol untuk masing-masing orang. Karena persediaan air botolan tinggal itu, untuk selanjutnya disediakan air gunung. Eke sendiri ga masalah mau minum air apa, yang penting air bersih yang bisa melepas dahaga. Selesai makan, kami kembali ke lokasi tenda.

Treking Ranu Kumbolo - Kalimati


Mas Dede membereskan tenda

                Mas Ase dan Mas Dede tampak sibuk membereskan tenda. Mereka membolehkan kami untuk jalan duluan. Kala itu bapak ibu Dudung sudah berangkat mendahului kami. Lalu pukul 8 selanjutnya kami bertiga: eke, mas Eko, dan pak Mary ikut menyusul. Yes! Semangat melanjutkan perjalanan dengan beban di punggung yang berkurang karena dititipkan ke porter *dasar lemah, haha. 




Turunan Jomblo (aka Tanjakan Cinta)

Rintangan pertama adalah: Tanjakan Cinta... eh, Turunan Jomblo kalo kata Mas Dede, nama itu ada betulnya juga kalo dilihat dari persepsi lain yang pesimis. Hahaha. Akhirnya eke mengerti bahwa spot-spot penting pendakian diganti namanya dengan tema per-jomblo-an oleh mas Dede. Turunan Jomblo ini jinak-jinak merpati. Tak seindah bayangan saat melaluinya, alias nanjak abis. Eke sendiri sering berhenti untuk istirahat sambil mengatur nafas saat melintasinya. Semakin ke atas semakin curam. Tapi akhirnya eke sampai juga di atas... hosh...hosh, disambut mas dan pak Mary yang telah menunggu. Merayakan keberhasilan sejenak di atas Turunan Jomblo, sambil mengatur nafas dan melihat pemandangan di bawahnya yang indah. Ranu kumbolo dengan tenda warna-warni di sekelilingnya di satu sisi dan padang Oro-oro Ombo dengan hamparan tanaman berwarna ungu di sisi yang lain. Masya Allah, indah!

Jalan kita masih panjang

                Rasanya ingin segera menggapai padang Oro-oro Ombo dan menikmati sensasi berjalan di antara semak berbunga ungu. Untuk mencapai padang Oro-oro Ombo ini ada dua jalur dari puncak Tanjakan Cinta, sisi kanan dan sisi kiri. Jalur sisi kanan ini akan membawa kita menuruni lereng bukit yang cukup curam, setelah lereng dilalui maka kita akan di bawa menyusuri jalan setapak datar di antara rimbunnya bebungaan ungu. Jalur sisi kiri memberikan pilihan yang lebih mudah karena jalurnya landai menyusuri lereng perbukitan. Di jalur kiri ini kita bisa memandang hamparan tanaman ungu di bawahnya. 


Bersiap menuruni lereng bukit

Tim kami lebih memilih melintasi jalur kanan untuk bisa menikmati padang bunga ungu. Alhasil eke harus menuruni lereng bukit dengan perlahan, lerengnya cukup curam. Eke berjalan setapak demi setapak demi mencari pijakan yang aman. Leganya setelah mencapai dasar bukit dengan selamat. Saatnya melintasi jalur trek datar dengan hamparan bunga ungu!!!



Oro-oro Ombo


                Ini dia Oro-oro Ombo! Dari dasar bukit kami berjalan terus menyusuri jalan setapak yang datar. Uh, senangnya kalo trekingnya seperti ini terus. Lama-lama jalur membawa kami memasuki hamparan tanaman berbunga ungu. Perlu diingat ini bukan tanaman lavender seperti yang sering dipopulerkan oleh khalayak umum, tapi Verbena brasiliensis. Tanaman ini bukan tanaman endemik di Semeru. Tanaman ini tumbuh lebat setinggi pundak manusia. Suara langkah kaki kami diiringi suara kresek-kresek oleh cabang tanaman yang membelai badan kami. 


Dibelai tanaman ungu

Tanaman ungu dilihat dari dekat

Pemandangan di sekeliling tampak mengesankan. Di depan tampak jajaran perbukitan berpohon cemara dengan awan yang menggantung hingga ke puncak perbukitan. Kami pun cukup banyak mengambil gambar di padang Oro-oro Ombo. Jalur setapak akhirnya mengarahkan kami meninggalkan rimbunnya tanaman ungu di belakang. Menuju perbukitan berpohon cemara yang tenar disebut Cemoro Kandang. Disini kami sudah disusul oleh mas Ase dan mas Dede. Hihi jalan kami memang lamban, apalagi ditambah sering berpose di indahnya Oro-oro Ombo.



Menuju Cemoro Kandang



                Sampailah kami di bibir Cemoro Kandang. Rombongan berkumpul kembali. Tampak bapak ibu Dudung sudah beristirahat di situ, kami pun juga ikut istirahat sejenak melepas lelah. Rupanya di situ masih ada penduduk yang menjajakan barang dagangannya. Hebat.
Lokasi Cemoro Kandang ini memang sesuai dengan namanya, dimana-mana terdapat pohon cemara layaknya lagu “Naik-naik ke Puncak Gunung”. Suasana sangat hijau dan asri. Puas mengobati lelah, kami melanjutkan treking kembali. Seperti biasa, kami treking sambil ngobrol agar suasana lebih ceria. Beberapa saat menjauh dari bibir Cemoro Kandang, mas Ase tampak minta izin untuk pup di balik semak-semak. Kami menunggu sambil melemaskan otot-otot kaki. O iya, mulai treking disini tulang yang menonjol di pundak kiri eke terasa sakit, nyeri. Mungkin karena posisi yang salah saat memakai tas atau bantalan pundak tas yang kurang tebal. Bagaimanapun pundak kiri eke akhirnya eke ganjal dengan gumpalan sarung tangan saat menggendong tas. Ok, lanjut perjalanan.        


Hamparan semak berbunga di Cemoro Kandang
My lovely gear :)


                Hari itu hari yang cerah, udara di Cemoro Kandang pun sejuk, membuat pendakian terasa menyenangkan. Deretan pepohonan cemara turut membuat hati menjadi hijau dan tenteram. Sepanjang perjalanan tampak beberapa pohon cemara yang tumbang, ada yang melintang jalan, ada pula yang tampak gosong kayunya – kiranya tersambar petir. Di tengah perjalanan, giliran bu Dudung minta izin untuk pup ditemani pak Dudung yang membantunya menggali lubang (menjelang akhir cerita kita akan mengerti bahwa pak Dudung adalah suami yang romantis). Kami pun menunggu sambil beristirahat. Kala itu mas Dede meminta losion anti UV dariku, dan mas Ase mulai memakai payung ungu. “Biar ganteng,” kata mereka. Lanjut perjalanan, jalur yang tadinya landai lama-lama menjadi menanjak. Tak ayal kami jadi sering istirahat saat dirasa nafas sudah ngos-ngosan. “Kayu-kayu!” pekik bu Dudung saat menemukan kayu yang melintang di ujung jalan. Maksudnya adalah kayu tsb jadi spot istirahat kami yang mudah ngos-ngosan saat jalur mulai menanjak. Kami pun duduk-duduk di batang kayu yang melintang. Tak jarang kami menemui rombongan pendaki lain, kami saling bertegur sapa dan memberikan semangat. Di Cemoro Kandang ini kami juga sering bertemu Superman alias porter yang membawa beban lebih dari bawaan kami dan berjalan lebih lincah daripada kami.


Superman dari desa Ranupani (aka porter)

Memang di jalur Cemoro Kandang ini jadi akses satu-satunya menuju Kalimati, tidak seperti treking Ranupani-Ranu Kumbolo yang mana porter lebih senang lewat jalur Ayak-ayak daripada lewat jalur normal pendakian

                Jadi begitulah ritme perjalanan kami saat melintasi Cemoro Kandang yang menanjak, selalu istirahat ketika ada kayu yang melintang. Hehe. Mas Ase dan mas Dede yang sudah hafal betul rute pendakian Semeru tak bosan mengingatkan berapa sisa jumlah tanjakan yang akan kami lalui. “Nah, ini tanjakan yang terakhir!” kata mas Ase memberi harapan. “Beneran mas, perasan dari tadi nanjak terus?” kata bu Dudung tak percaya. “Beneran ini yang terakhir Bu. Haha.” Nyatanya itu memang tanjakan terakhir di Cemoro Kandang. Maka, sampailah kami di Jambangan. Di daerah yang bertanah lapang, kami bertemu dengan banyak rombongan lain yang ramai berfoto disitu.
Rupanya disitu memang spot yang ideal untuk berfoto dengan latar belakang Mahameru yang agung. Kami pun ikut berfoto bersama. Guides memandu kami untuk istirahat di situ, kami duduk berlindung di bawah bayang-bayang pohon perdu. Segera kami minum, melemaskan otot, mengoles kembali krim anti UV, dan ngemil.

                Mahameru tampak dekat dilihat dari Jambangan tempat kami beristirahat. Gunung itu kokoh berdiri, menampakkan lereng-lerengnya yang gahar, curam dengan bebatuan dan pasir. Seketika itu juga membuat kami berfikir “Itu beneran bisa didaki mas?” kata eke meragu. “Iya, nanti ada jalurnya ko. Ini memang musim kemarau, jadi nanti jalurnya lebih berdebu. Kan engap tu, kita udah ngos-ngosan naik, mana pernafasan berdebu lagi. Tambah engap. Memang ada sedikit perlakuan khusus saat mendaki di musim kemarau.” kata mas Ase menjelaskan dengan semangat. Apapun yang terjadi nanti, eke akan mendaki semampunya. Sekuat yang bisa eke berikan. Kami beristirahat cukup lama disitu, sembari pipis-pipis juga. Setelah selesai istirahat, lanjut perjalanan menuju Kalimati.

                Perjalanan menuju Kalimati cukup menyenangkan, trek landai cenderung menurun dengan tanah yang mulai berpasir. Di kanan kiri jalur pendakian banyak tanaman perdu yang lebat, tampak pula mawar hutan berwarna kuning cerah yang mengingatkan eke dengan cerita bos di kantor tentang dirinya dan rombongannya yang tersesat selama 7 hari saat menuruni Mahameru pasca badai yang memporak-porandakan jalur pendakian. Mereka bertahan hidup, salah satunya dengan memakan mawar hutan. Untuk memecah kesunyian, eke memutar mp3 dari BB. Tibalah mp3 memutar lagu “Mahameru” yang dibawakan oleh band Dewa 19. Nyatanya lirik lagu tsb mampu memompa semangat kami menuju Kalimati sambil bernyanyi-nyanyi. Sampailah kami di padang Kalimati sekitar pukul 12 siang.
Perjalanan yang cukup cepat dan menyenangkan. Guides menuntun kami menuju tempat tenda didirikan. Eke dan mas serta merta segera memasuki tenda untuk beristirahat. Pak Dudung dan Pak Mary memilih mengisi waktu senggang dengan mengunjungi Sumber Mani – sumber air terakhir sebelum mencapai puncak bersama dengan guides. Eke sendiri dan mas mencoba tidur dengan sia-sia di dalam tenda karena berisiknya celoteh pendaki lain yang nge-camp di Kalimati.


Padang Kalimati


Makanan kami


                Sekiranya 1.5 jam berlalu, terdengar derap langkah Pak Mary memasuki tendanya yang ada di sebelah tenda kami. Di luar mas Ase mengajak kami untuk makan siang. Seperti biasa, kami makan siang dengan lahap dan riang. Selesai makan siang lalu solat, eke dan mas kembali ke dalam tenda. Lagi-lagi mencoba tidur, niatnya adalah untuk menyimpan tenaga dalam rangka menuju puncak. Kala itu mas mengeluarkan senjatanya untuk tidur: sumbat telinga. Alhasil, dia bisa tidur cukup nyenyak. Eke sendiri tidur-tiduran ayam, dan sering keluar tenda untuk pipis sambil melihat-lihat keadaan sekeliling. Eke berani pipis sendiri di kala siang. Hehe.


Jangan lupa solat, hoho.

                Kembali ke tenda, hari mulai sore. Eke dan mas sudah mempersiapkan kostum dan barang bawaan untuk pendakian ke puncak. Di luar tampak seseorang berteriak, entah suara mas Ase atau suara mas Dede yang sudah familiar di kuping eke “Hoi, tim dari PMI...! (karena kurang jelas, eke dengernya PMI) Mana tim PMI?! Temennya ada yang ilang woi!” deg, langsung berasa tegang diri ini. Terdengar suara pembicaraan serius antara mas Dede/mas Ase dengan pak Dudung. Di dalam hati, eke hanya bisa berdoa semoga orang hilang itu segera ketemu dalam keadaan sehat. Menjelang matahari tenggelam, eke sempatkan berjalan-jalan di padang Kalimati. Kabut mulai turun, hawa dingin mulai menyelinap tapi tidak terlalu dingin. Sore itu titik-titik air mulai turun dari langit, karena intensitasnya kecil, rasanya itu hanya embun yang terkondensasi. Namun rupanya sesekali kilatan cahaya tampak di langit, hei apakah itu kilat?

                Selepas jam 18.00 mas Ase memanggil kami untuk makan malam. Perasaan baru makan beberapa jam yang lalu deh. Kami makan bersama di shelter, sambil ngobrol dengan topik perbincangan yang hangat: alasan berpoligami dan cerita tentang pendaki yang tersesat tadi. Mas Ase menceritakan saat dirinya mencari sinyal di Kelik untuk menelepon nyonya, ada suara orang memanggil-manggil nama ‘Susilo’. Mas Ase bertemu dengan orang yang memanggil-manggil nama Susilo tsb. Akhirnya mereka bersama mencari Susilo dengan dipimpin oleh mas Ase. Susilo akhirnya ketemu di sekitar lokasi Blank 75. “Katanya dia ngikuti orang. Abis itu kecapekan, ketiduran. Diberi minum oleh seseorang, tapi orang tsb kalo diajak ngomong diem aja ga mau nyahut. Sama dia lihat jejak macan, gitu.” cerita mas Ase. “Hiii...” eke jadi bergidik sambil memandang mas Dede yang kebetulan duduk di sebelahku. “Kalem aja mbak,” katanya nyengir. Ok makan malam sudah selesai, saatnya mas Ase memimpin tech meet untuk rencana summit attack malam ini. Perbincangan berlangsung serius, semua anggota tim merasa perlu mendengar dengan seksama untuk keselamatan dan kemaslahatan masing-masing.

                “Nah, malam ini kita akan summit attack. Rencananya kita mulai jam 23.00. Gimana, sepakat?” kata mas Ase memulai. “Eh, ga terlalu awal itu? Jam 01.00?” “Ya sudah, tengah-tengah saja. Jam 00.00,” “Ok, kalo begitu saya bangunin jam 23.30 ya pak,” kata mas Ase. “Ok,” semua mengiyakan. “Jadi, nanti kita akan melewati medan yang berbeda-beda. Pertama tanah berkerikil, lalu tanah lembut, yang ketiga pasir dan bebatuan. Kita jalannya pelan-pelan aja untuk ke puncak. Udah disiapin ya pak pakaiannya untuk ke puncak nanti? Sarung tangan, masker, jas hujan, kalo ada kaca mata bisa dipakai karena medannya nanti cenderung berdebu. Mending nanti bajunya udah dipakai sebelum tidur. Nanti di atas jangan kaget kalo ada pendaki yang jalannya cepat...clap...clap...clap...lalu berhenti ngos-ngosan. Kita pelan-pelan aja. Kalo udah di atas, pas istirahat gitu, ati-ati. Soalnya kalo badan udah berhenti itu jadinya dingin. Takutnya kena hipo,” kata mas Ase menjelaskan.

                “O iya, pendakian kali ini kita lewat jalur baru. Jalur yang lebih cepat dan ga ekstrim, karena ga perlu lewat pos Arcopodo, langsung dari Kalimati. Meskipun nanti di atas ada persimpangan yang menghubungkan dengan jalur Arcopodo lama. Tiap orang bawa minum 2 botol ya. Soalnya di atas bakal gampang haus apalagi dengan adanya debu, tapi kalo udah minum jangan langsung glek-glek gitu, itu malah bikin lemes. Cukup membasahi kerongkongan aja. Sama bawa makanan ringan untuk persediaan energi kita. Nanti malam kita sarapan dulu, ada roti dan telur, dan saya siapin buah pir juga. Biasanya itu di puncak banyak pendaki lain yang minta air minum. Nah, kalo misal dimintai, pikirin juga persediaan buat masing-masing, apakah masih cukup. Saran saya kalo kita masih dalam posisi mendaki, sebaiknya ga usah dikasi. Tapi ya itu terserah sambil lihat kondisi masing-masing.”

                “Teknis jalannya gimana mas? Medan yang dilalui gimana di atas sana?” tanya eke. “Biar lebih efisien, sebaiknya jalan di bekas pijakan orang saat jalan di tanah berpasir. Karena tanahnya sudah lebih padat dan kaki kita ga perlu terlalu tenggelam. Medan yang paling susah itu setelah batas vegetasi karena pasir dan batu serta curam, jadi kita gampang merosot. Jalannya biasa aja, kalo ada tracking pole bisa juga dipakai.” “Perlu tali ga mas? Jadi, nanti badan kita bisa dililit tali,” tanya mas eke. “Hm... buat jaga-jaga, boleh aja sih dibawa pak. Tapi kalo menurut saya ga perlu pake tali. Takutnya kalo diiket di tali, satu jatuh, semuanya ikut jatuh” terang mas Ase.

                “Ritme jalannya gimana mas? Lima langkah istirahat, atau tujuh langkah istirahat, atau gimana?” tanya pak Dudung. “Terserah sih pak, sesuai kesepakatan aja dan lihat kondisi. Malam ini istirahat, kalo pas mendaki nanti ga kuat, sampai di manapun nanti akan kami antar kembali ke tenda. Jadi, ga perlu dipaksakan.”

                “Untuk cuaca sendiri, kira-kira gimana mas? Takutnya kalo hujan,” tanya mas eke memastikan. “Cuacanya... insya Allah terang pak. Semoga, kalo lihat situasi. Ok, sampai disini ada yang ditanyakan? Kalo sudah jelas semua, silakan istirahat, nanti malam saya bangunkan jam 23.30 ya pak untuk sarapan.”

                Kami kembali ke tenda. Eke dan mas berganti kostum treking sebelum tidur, kali ini dengan kaki dibungkus plastik agar lebih hangat mengikuti tips dari mas Dede. Sekitar pukul 20.30 kami mulai meringkuk di dalam sleeping bag, rupanya menginap di Kalimati tak sedingin di Ranu Kumbolo. Suasana camp Kalimati masih ramai, bahkan semakin malam semakin ramai oleh pendaki yang berangkat summit attack. Kami kembali tidur-tiduran ayam. Rupanya tenda kami terletak di pinggir jalur pendakian, terdengar suara seseorang di luar mengarahkan jalur pendakian “Mas, yang ke puncak Semeru lewat sini. Hei, lewat sini!” Jalur baru tsb rupanya belum banyak diketahui orang. Eke sendiri sampai saat ini masih bertanya-tanya, siapakah orang yang mengarahkan ke rute baru tsb? Apakah jagawana atau porter? Umum diketahui bahwa izin pendakian Semeru hanya disarankan sampai Kalimati saja oleh petugas TNBTS.
                Kami tidur dan terbangun dalam gelap malam. Lalu benar-benar terjaga sekitar pukul 23.00 sesuai penunjukan jarum jam tangan yang berpendar dalam gelap. Tuk... tuk... tuk... rasa-rasanya ada yang menetes mengenai atap tenda. “Iki ndak udan?” tanya eke mencari kepastian. Tuk.. tuk.. tuk.. tuk.. tuk.. tuk... bress...! “Iya mbak, hujan nih,” kata Pak Mary menimpali dari balik tendanya. Kondisi hujan kala itu cukup membuat hati kami galau, bagaimana kalo hujannya ternyata awet sampai subuh? Bisa kacau jadwal kami. Tapi toh diluar banyak pendaki yang tetap menembus hujan untuk summit attack, hebat. Jika disuruh memilih, eke lebih memilih tidak berhujan-hujan ria, takut terkena risiko hipotermia. “Ya udah, kita tunggu aja,” kata pak Mary menimpali. Dari tenda sebelah terdengar pak Mary memutar deretan tembang-tembang dari penyanyi Maher Zein. Lagu-lagu berjudul “Insya Allah”, “Alhamdulillah”, menyatu dengan suara tetesan hujan. Kami tetap bertahan di dalam tenda, mengerjap-ngerjap dalam diam. Berharap dan menunggu hujan segera reda.




Artikel berkesinambungan:
0   1   2   3   4   5

Comments

Popular Posts