Semeru, Jawaban dari Alam atas Kesembuhan Jiwa – Hari Pertama

"Tentang Kegelisahan"


1 November 2014
Tentang kegelisahan
Kegundahan
Merasa sendirian
Ekspektasi yang tinggi
Akan segala hal yang terlihat mudah untuk diraih
Namun tak bisa diraih
Tentang beribu tanya di hati yang belum terjawab
Tentang kerinduan mendalam yang tak tersampaikan
Semuanya melebur jadi satu
Berganti nama menjadi kecewa, sedih, dan marah pada diri sendiri

Pendakian Arjuno-Welirang yang direncanakan kira-kira sejak sebulan yang lalu itu awalnya hanya akan terasa seperti pendakian biasa sekedar untuk mengisi waktu luang. Namun mendekati hari-H, eke semakin membutuhkannya. Katakan 2 minggu terakhir di bulan Oktober ini eke mengalami penurunan mental. Merasa down, patah, sendirian karena berbagai macam keadaan. Entah itu karena kondisi pabrik maupun kondisi hati eke yang sedang patah. Mencoba sabar dan ikhlas rasanya hanya omdo alias omong doang. Ingin rasanya eke melepas segala rasa pusing, penat, dan beban pikiran ini melalui pendakian. “Nature will heal you,” kata mas eke. “I know, I really need it.” Meskipun dihimbau untuk mengajak kawan-kawan yang lain namun mendekati hari-H peserta tak bertambah, tetap kami berenam – Pak Viki, eke, mbak Ymu, Yafar, sam Herman, dan Kang Tresna. Eke sendiri yang sedang banyak pikiran hanya sempat mengabari beberapa kawan, itu pun mereka tak bisa ikut atau tak ada kabar.
Eke cukup antusias membaca rute pendakian Arjuno-Welirang, merumuskan menu makanan selama camping, dan menyiapkan segala sesuatunya. Eke tak sabar menumpahkan segala emosi yang berkecamuk di hati melalui pendakian. Beberapa hari sebelum keberangkatan, salah seorang calon pembeli SB eke menginfokan beberapa bulan yang lalu dia berencana ke Arjuno-Welirang namun sesampainya disana pendakian ditutup karena status Semeru yang siaga. Lalu dia bilang, tak perlu khawatir karena mestinya sekarang pendakian sudah dibuka. Eke sempat utarakan hal ini juga ke kawan-kawan setim. Namun kami tetap optimis, Arjuno-Welirang pasti bisa didaki.
Hari-H pun tiba. Tas keril eke sudah siap dengan perlengkapan pribadi, beberapa bahan logistik, dan sayur-mayur. “I hope nature can heal me, Mbak...” kata eke kepada mbak Ymu. “If you wanna be healed, then you will, Mi.” I will, Mbak!” Begitulah harapan eke yang tinggi akan kesembuhan jiwa dari alam. Sesuai kesepakatan, tim dari Tuban berangkat hari Sabtu 1 November 2014 pukul 02.00 dini hari. Namun kami baru standby menunggu kedatangan bus kira-kira pukul 02.40, dan bus yang dinanti pun baru tiba pukul 03.45-an. Ujian kesabaran. Masya Allah, mestinya kami sudah tiba di terminal Bungurasih pukul 05.00 untuk bergabung bersama pak Viki yang sudah tiba di Surabaya. Tapi tak mengapa, semua masih bisa berjalan normal. Kami tiba di terminal Bungurasih pukul 06.00-an. Sesampainya di sana kami sarapan dulu, pipis-pipis, ketemu pak Viki, lalu lanjut oper bus jurusan Malang untuk turun di terminal Pandaan.
                Demi meredam rasa yang tak karuan di hati dan menghemat tenaga, eke mengisi perjalanan dengan tidur daripada melamun tak jelas. Perjalanan dari Bungur ke terminal Pandaan hanya menghabiskan waktu ± 1 jam saja, sesampainya di terminal Pandaan, kami segera oper angkot menuju Tretes. Sejak awal kami sudah ditawari angkot menuju Tretes oleh seorang sopir, sopir itu menawarkan biaya IDR 10,000/orang. Baiklah harga yang normal. Kami segera masuk ke dalam angkot tsb. Duduk cukup lama di dalam angkot, lho pak sopirnya ke mana? Kok ga berangkat-berangkat? Ternyata si sopir sedang minum-minum di warung untuk menunggu penumpang lebih banyak. Wew, kami pikir langsung berangkat. Dengan sedikit ancaman, akhirnya si sopir mau segera memberangkatkan kami tanpa menunggu penumpang lain. Sepanjang perjalanan si sopir mengemudikan kendaraannya dengan cepat (ugal-ugalan). Maka tak butuh waktu lama untuk mencapai basecamp pendakian Arjuno-Welirang di Tretes.

                Dan, sesampainya di basecamp...taraaaaa! Kami hanya pasrah membaca pengumuman yang ditempel di pintunya. Pendakian Arjuno-Welirang ditutup dari jalur mana saja karena kebakaran. Yah, padahal perbekalan kami sudah siap. Kalau begini ini: pulang malu, tak pulang rindu. Mencoba melobi penjaga basecamp pun tak berhasil. Salah seorang calon pendaki yang sedari malam sudah menunggu di basecamp pun menyarankan agar pindah destinasi saja. “Itu mas...pindah ke yang deket-deket aja, ada Argopuro, Panderman, atau Semeru. Ini saya ada nomor telpon porter Semeru kalau mau tanya kondisi di sana,” katanya. Mendengar kata Semeru, Yafar dan sam Herman langsung sumringah. “Oh iya, boleh ayo ke Semeru!” kata Yafar. Sedang di dalam hati diri ini ingin menjerit “Apa???! Semeru??! Tidaaaaaak!” Setidaknya tidak dalam waktu dekat ini eke kembali ke Semeru, yah... dalam kurun waktu yang lama lah. Jika kembali ke Semeru, eke inginnya kembali karena perjalanan honeymoon (ya, honeymoon. Silakan tertawa atas kekonyolan ini.) “Serius ini ke Semeru? Yah... ya gapapa sih. Deket juga, waktunya masih ngejar kalo kita berangkat sekarang. Lagian aku sama Asmi kan udah pernah ke sana,” ujar pak Viki. “Atau ke Argopuro aja?” kata eke mencoba membelokkan destinasi. “Hei, Argopuro itu treknya panjang lho...” “Cuma sampai danau Taman Hidup aja, pak. Abis itu balik lagi.” “Wah, tapi ga berani... belum pernah ke sana sih.” Kesimpulan pembicaraan sudah bisa ditebak, maka kami segera turun dari Tretes menuju ke Puskesmas Pandaan untuk mengurus surat kesehatan. Setelah surat kesehatan didapat, kami segera naik bus jurusan Malang turun terminal Arjosari, lanjut oper angkot ke Tumpang.
                Sepanjang perjalanan jelas eke mencoba menenangkan diri atas apa yang akan dihadapi, tenang... tenang... semua akan baik-baik saja. Setibanya di Tumpang, kami mendaftarkan diri di Perhutani Tumpang sembari rehat sejenak - mencari makan siang, mengambil uang di ATM (uang iuran sudah tidak mencukupi), dan menunggu hardtop yang sudah dipesan. Entah mengapa hardtop yang dipesan ini tak kunjung tiba padahal waktu sudah menunjukkan pukul 14.45 sedang sesuai info pendaftaran di Ranupani tutup jam 16.00. Kami menunggu dengan was-was, selain takut pendaftaran sudah ditutup juga akan membuat start pendakian semakin larut. Hardtop akhirnya tiba pukul 15.00-an. Kami segera menaikinya, tak lupa berfoto-foto sejenak. Perjalanan pun dimulai.
Berfoto di depan hardtop di pos Perhutani Tumpang

Ride with us!

                Tak habis pikir kenapa eke harus kembali ke sini dalam waktu sedekat ini? Apakah eke sanggup melewatinya? Semeru tak hanya soal jalur pendakiannya namun juga kenangan di dalamnya. Gunung pertama eke beserta seluruh cerita yang pernah eke lalui. “Mbak, kenapa aku harus kembali ke sini lagi? Aku masih ga percaya,” tanya eke ke mbak Ymu. “Udah Mi, mungkin Semeru memang memanggilmu kembali...” Eke hanya bisa menghela nafas sambil menatap jalanan yang dulu pernah dilalui. Di hardtop yang terbuka bagian belakangnya sana, para laki-laki itu berteriak ketika hardtop berjalan berguncang-guncang. Sampai di desa Gubuk Klakah, diam-diam mata ini mengamati di sudut mana dulu pernah transit sejenak untuk numpang pipis dan menunggu kedatangan mas Dede yang motornya rusak. Hardtop terus melaju, pak sopir menyadari kedatangannya yang terlambat. Lagi-lagi kami tak kuasa menahan kekaguman sesampainya di Bantengan – bukit di atas lembah Teletubbies yang dulu eke beserta rombongan juga berhenti di sini untuk foto-foto. Ah, semuanya tentang kenangan.
Berpose di atas Bukit Teletubbies - Bantengan

Tiba di Ranupani
                Akhirnya kami tiba di parkiran hardtop di Ranupani sekitar pukul 17.00. Kami segera menurunkan barang bawaan. Pak sopir dan pak Viki segera menuju pos pendaftaran untuk mendaftarkan kami semua. Sedang eke memandu kawan-kawan untuk berjalan menyusuri pinggir danau Ranupani menuju warung sebagai tempat transit sebelum mendaki. Syukur pak Viki berhasil mendaftarkan pendakian kami secara legal. Di depan warung itu titik awal pendakian kami, sam Herman memimpin doa untuk kelancaran dan keselamatan kami semua. Yel-yel penyemangat menjadi pemantik kami untuk berjalan menuju jalur pendakian. Kami tiba di gerbang pendakian Semeru pukul 18.00-an.
                Trekking menuju Ranu Kumbolo di malam hari jelas merupakan ujian tersendiri bagi eke. Eke yang merasa cukup berat dengan keril sendiri menjadi trekker di urutan 3 terakhir. Trekking kali ini diawali oleh pak Viki dan sebagai sweeper adalah Yafar. Pak Viki dan sam Herman bisa berjalan dengan lincahnya, mbak Ymu pun terlihat mudah mengimbangi. Sedang eke masih ngos-ngosan bersama kang Tresna dan Yafar. Tak ada pemandangan yang bisa dinikmati saat trekking di malam hari, namun eke masih bisa mengenali beberapa area berdasarkan ingatan eke. Sebetulnya jika ingin menguji ketajaman pupil mata, malam itu cahaya bulan yang temaram keperakan cukup menerangi jalur trekking meski tanpa lampu senter. Sering kali kami tertinggal namun bertemu kembali saat break. Kami pun tak sanggup break berlama-lama karena hawa yang terasa dingin saat kami berhenti bergerak. Di sela-sela perjalanan kami juga bertemu dengan rombongan pendaki lain yang terdiri dari tim kecil. Setelah melewati pos 2, Yafar dan kang Tresna yang ditunggu-tunggu pun tak muncul-muncul. Rupanya Yafar mencoba memadamkan titik-titik api yang ada di sekitar jalur pendakian.
                Selepas melewati pos 3 berarti Ranu Kumbolo sudah semakin dekat. Pak Viki mengambil jalur yang tanpa melewati pos 4. Saat itu eke dan mbak Ymu merasa cukup kesulitan menuruni lereng pasir yang curam menuju Ranu Kumbolo. Eke merasa dulu tak pernah melewati lereng securam ini saat menuju Ranu Kumbolo, ternyata pak Viki mengambil sisi Ranu Kumbolo yang cepat diraih. Akhirnya kami semua mencapai dataran Ranu Kumbolo sekitar pukul 23.00. Ada yang aneh di Ranu Kumbolo malam itu lantaran angin yang berhembus sangat kencang, sekencang angin yang bertiup di pinggir pantai. Kami semua langsung berbagi tugas, para laki-laki mendirikan tenda sedang eke dan mbak Ymu memasak makanan. Kami semua berjuang di sisa-sisa tenaga terakhir demi camping yang nyaman di Ranu Kumbolo. Mendirikan tenda dan memasak makanan di Ranu Kumbolo kala itu merupakan ujian tersendiri bagi kami.
                Setelah tenda selesai didirikan, para laki-laki itu melakukan pelanggaran. Mereka segera bersembunyi di balik tenda sedang kami belum selesai memasak. Banyak kesulitan yang dihadapi saat kami memasak malam itu, angin yang kencang dan dingin, kompor yang rusak, nasi yang tak matang-matang, dsb. “Makanannya udah mateng belom?” tanya mereka di balik tenda. Hadehhhh, sabar! Setelah makanan dirasa layak makan, kami segera membagi-bagikan makanan. Malam itu kami hanya sempat memasak nasi dengan telur dan kornet. Selesai makan pun kami tak kuasa segera merapat di dalam tenda, alhasil bekas-bekas makanan masih tergeletak di luar tenda. Malam itu rasanya ingin segera istirahat dan bergelung. Eke dan mbak Ymu yang sudah berada di dalam tenda pun segera ganti baju dan masuk ke dalam sleeping bag. Pemandangan terakhir yang eke tangkap malam itu adalah sebuah nyala oranye yang liat di atas bukit. “Itu api bukan sih, Mbak?” tanya eke kepada mbak Ymu. “Tapi kok ga gerak ya dia?” ujar mbak Ymu. Lalu kami segera menutup pintu tenda. Angin menderu-deru di luar sana. Berharap kami bisa tidur dengan aman dan nyaman. Sesekali eke terbangun dan menggigil. Eke coba memakan beberapa blok coklat. Setelah itu, eke terlelap.



Artikel berkesinambungan:
1  2  3

Comments

Popular Posts