Semeru, Jawaban dari Alam Atas Kesembuhan Jiwa – Hari Kedua
“Dalam Dekap Kesunyian Alam”
Taman Nasional Bromo Tengger Semeru, 2 November 2014
Ah, udahan galaunya!
Melanjutkan kisah perjalanan eke mendaki Semeru sampai hari kedua. Tergambar
dengan jelas betapa galaunya eke lewat untaian kata yang melow abis pada
pendakian hari pertama. Hiks. Maka, mari kita abaikan itu dan lanjut perjalanan
menuju lembah kegalauan yang semakin dalam. Hwehe... bercanda.
Selamat pagi Ranu Kumbolo! |
Rasanya berat beranjak
dari sleeping bag pagi itu dan lebih
nikmat tetap menggeliat di dalamnya sambil memejamkan mata. Kira-kira pukul
lima pagi matahari sudah menerangi lembah Ranu Kumbolo, sinar mentarinya begitu
terang seperti sudah jam 6.30 saja. Ah, bulan-bulan mendekati akhir tahun selalu
membuat daerah di dekat Selatan menjadi lebih cepat terang. Di luar sana para
laki-laki itu sudah riuh membuat kopi hangat dan berencana berfoto-foto di
sekitar Ranu Kumbolo. Eke dan mbak Ymu yang tidurnya lebih telat dari mereka
masih bermalas-malasan di dalam tenda. “Mbak Mi, ga solat?” teriak sam Herman
dari luar. “Ora!” “Ga meh ngetok? (Tidak mau terlihat
(kehadirannya, red)?)” “Ga!” “Yo wis.”
Lalu sam Herman berlalu bersama kawan-kawan yang lain. Pagi itu eke mulai
dengan menggeliat di dalam sleeping bag sambil
mengerang “Mbaaak, haduh... pengen pup! Huhu. Males... Temenin ya.” Keluh eke
kepada mbak Ymu. “Argh! Kenapa sih harus kebelet pup?? Di luar dingin banget,
anginnya kenceng. Huhu. Temenin ya mbak..” Eke terus-terusan mengeluh dan
mengiba pada mbak Ymu untuk dikawani. Setelah memaksakan diri keluar dari tenda,
eke segera mencari-cari cetok yang dibawa oleh sam Herman. Aduh, di mana sih itu
cetok? Udah kebelet pake banget ini! Males banget harus bongkar-bongkar tas sam
Herman yang ada di tenda para lelaki yang kondisinya berantakan. Mana
cetoknyaaa??? Tidaaak! Lalu mbak Ymu berinisiatif memberikan pegangan nesting
sebagai ganti cetok, “Pakai ini aja gimana?” Ah, iya langsung eke samber!
Heuheu.
Fyuh lega setelah
melakukan kegiatan gali lubang-tutup lubang, eke dan mbak Ymu berinisiatif
untuk membereskan alat-alat makan dan lanjut memasak sarapan sembari menunggu
para laki-laki itu kembali. Pagi itu menu makanan kami adalah oges lecep alias nasi pecel dengan lauk
telur orak-arik. Kami memulai dengan membersihkan peralatan makan terlebih
dahulu, cukup menguras waktu – lalu para laki-laki itu datang dan membantu,
syukurlah. Lanjut merebus air dan menanak nasi – pengalaman semalam menanak
nasi membutuhkan waktu yang cukup lama, maka eke dan mbak Ymu merasa perlu
untuk meninggalkannya dan memilih berjalan-jalan di sekitar Ranu Kumbolo.
Suasana Ranu Kumbolo yang cukup sepi |
Suasana Ranu Kumbolo saat itu jelas berbeda dengan suasana Ranu Kumbolo di bulan
Mei yang lalu. Waktu itu pemandangan didominasi warna coklat kusam dari
rerumputan yang mengering, ada petak-petak hitam bekas kebakaran, angin masih
berhembus kencang yang sesekali meniupkan debu yang mengganggu pernafasan.
Tetapi semua tetap indah, Ranu Kumbolo tetap berkilau ditempa sinar mentari
pagi. Di tempat ini lah yang diam-diam mampu membuat bibir ini tersenyum. Eke
sejujurnya malas untuk memfoto diri sendiri (selain karena galau juga muka lagi
lecet x_x), eke lebih suka memfoto pemandangan atau mbak Ymu atau (kalau ada
waktu) merenung sendiri menikmati semua keindahan ini. “Ya.. ya.. tahan ya Mbak!” seru eke saat memotret mbak Ymu. Cepret!
Senyum mbak Ymu yang mengingatkan tentang wanita Mongolia di sabana Siberia :)
|
Merasa agak lama
berjalan-jalan di Rakum, eke dan mbak Ymu pun sadar diri untuk kembali ke
tenda. Saat membuka nesting nasi ternyata nasi juga belum matang-matang,
saudara-saudara! Hrr... ya sudah, rebus sayuran dulu deh. Memasak di atas
ketinggian dalam tekanan rendah rupanya cukup melatih kesabaran. Air mendidih
dalam suhu <100 degC, alhasil sayuran lebih lama matangnya. Hm, ya sudah.
Seadanya saja, yang penting halal :). Sementara pak Viki dan kawan-kawan telah selesai memasak telur, yes
saatnya makan! Kami duduk membentuk lingkaran, membagi-bagikan makanan, lalu
makan dengan riang. Senangnya! Meskipun nasi bertekstur krispi, begitu pula
dengan sayurannya, namun sambal pecelnya tetap nikmat. Tak lupa momen makan
bersama pun dipotret agar tetap terkenang.
Perutnya kang Tresna.... heuheu |
Ayo, sarapan dulu! |
Di sela-sela obrolan saat makan sesekali
angin kencang berhembus dan rupanya mampu menjatuhkan tripod beserta kameraku.
“Kyaaaa! Kameraku.. kameraku!!!!” (ckck keduniawian, dosa sungguh dosa). Eke segera
berlari menghampirinya. Syukur, tak ada kerusakan yang berarti. Selesai mengakhiri
makan bersama yang menyenangkan, kami lalu beres-beres.
Pak Viki
menginstruksikan pukul 10 kami harus lanjut pendakian dan mengisi botol-botol
yang ada dengan air Ranu Kumbolo (meskipun sudah eke infokan bisa beli air di
porter Kalimati atau mengambilnya sendiri di sumber Air Mani). Tak terbayang
beratnya beban nanti saat melanjutkan pendakian karena membawa air. Eke sendiri
hanya mampu membawa 2 botol air (besar dan kecil, maklum letoy). Nah, setelah
semuanya beres, rapi, dan bersih (meski kami meninggalkan bungkusan sampah di
samping batu di Ranu Kumbolo dan BERJANJI akan mengambilnya saat kembali) kami
lanjut pendakian melipiri pinggir Ranu Kumbolo. Seperti biasa, alhamdulillah kami
termasuk pendaki religius, maka kala itu kami berhenti sejenak di
pinggir Rakum, berdiri melingkar dan berdoa dengan khusyuk supaya pendakian
berjalan aman, selamat, sehat, sentausa. Aamiin yaa Allah.
Contoh pendaki religius: berdoa dengan khusyuk mengharap jodoh :)
|
Baru jalan sebentar,
setibanya di sisi Rakum yang ada shelter-nya,
kami tak kuasa untuk berfoto ria dan para laki-laki itu ikut meramaikan
dagangan penjual di situ dengan membeli minuman rasa-rasa. Fotonya pun curi-curi
kesempatan saat angin berhembus tak terlalu kencang karena sekalinya berhembus
kencang, debu-debu langsung berterbangan dengan gusarnya. Nah, tujuan
selanjutnya ialah trekking membelah
bukit via Turunan Jomblo (Tanjakan Cinta). Hm, ini nih... tanjakan yang
kelihatannya kitu-kitu saja tapi
sangat menguras nafas saat melewatinya. Sama sekali tak terbayang jodoh saat
melewatinya kecuali ingin cepat menyelesaikannya.
Turunan Jomblo (Tanjakan Cinta) yang kelihatannya kitu-kitu wae |
Istirohat dulu di atas Turunan Jomblo |
Keletoy-an eke terbukti: eke
jadi trekker paling bontot dalam uji
Tanjakan Cinta, tidaaaak! Kami beristirahat sejenak di atas Tanjakan Cinta, menghimpun
nafas, dan minum-minum. Anggota pendakian kali ini tak ada yang perokok, kecuali
eke (canda). Setelah puas beristirahat, yuhuy saatnya menyambut jalur
berbonus di Oro-oro Ombo!
Musim mengubah
segalanya. Ya. Oro-oro Ombo November itu adalah padang dengan semak-semak
gersang, jauh dari semarak ungu, awan yang meneduhkan, serta semangat hijau
segar Cemoro Kandang yang nampak dari kejauhan. Eke harus puas dengan semua
ini, inilah sensasi keindahan alam bulan November yang kering dan dingin, yang
SENGAJA eke datangi untuk menyembuhkan jiwa eke. Di puncak bukit, rombongan
mulai terbelah. Yafar dan sam Herman memilih menuruni jalur yang curam, sedang
sisanya lebih memilih melipiri bukit yang landai. Tak berapa lama, kami bertemu
kembali di jalur pertemuan Oro-oro Ombo. Dan... hei, masih ada aja itu pedagang
yang ada di bibir Cemoro Kandang??
Kami pun meramaikan dagangan mereka dengan
membeli semangka – yang entah kenapa rasanya begitu nikmat meski harganya agak
mahal. IDR 5,000 untuk dua potong semangka (sudah termasuk ongkir dari Ranupani
J). Kami pun menobatkan semangka itu menjadi semangka
paling enak di dunia. Puas menikmati semangka dan berfoto sejenak di sekitar
Cemoro Kandang, kami pun lanjut perjalanan.
Awalnya kami berjalan
beriringan, berdekatan... Namun lambat laun kami mulai terpisah-pisah, dengan
barisan terdepan pak Viki kemudian mbak Ymu. Di tengah formasi ada eke dan sam
Herman, dan terakhir ditutup oleh kang Tresna dan Yafar. Yafar sempat berganti
keril dengan pak Viki saat melintasi Cemoro Kandang, dia merasa keberatan dan
memperlamban pergerakannya. Eke sendiri, jujur... juga merasakan hal yang sama,
berat sungguh berat. Eke hanya mampu berjalan perlahan saat medan mulai
menanjak, kadang hal ini sempat terlintas di benak eke ‘Apakah eke mampu?’ Jika
terlampau dipaksa, takutnya nanti badan drop
dan tak kuat summit. Ah, entah
lah... lanjut saja. Jalur Cemoro Kandang kala itu kering, matahari terik
bersinar namun angin dingin tetap menerobos, di lembahan lain tampak asap
kebakaran yang membumbung ke angkasa. Syukur titik kebakarannya masih jauh dari
jalur pendakian, jadi asap tidak terlalu mengganggu pernafasan. Pelan-pelan eke
berjalan, teman-teman yang lainnya terpisah agak jauh dari eke. Eke sering
berjalan sendiri, meski kadang disusul oleh sam Herman atau bertemu pendaki
lain. Jalur pendakian Semeru kala itu sepi, senyap terasa saat eke berjalan
sendiri. Terkadang eke memutar mp3 untuk memecah kesunyian ini.
Tunggu
dulu! Ya eke akan berdua sejenak dengan alam. Alunan mp3 kemudian eke matikan.
Tak pernah berhenti berjuang, pecahkan teka-teki malam. Tak pernah berhenti berjuang, pecahkan teka-teki keadilan. Berbagi waktu dengan alam, kau akan tahu siapa dirimu yang sebenarnya...
Hanya suara alam
Yang berderik, berhembus, berkicau, dan berkeresek di sekitarku
Kenapa aku di sini ya Allah? Berjalan pun aku sulit
Aku tak mampu menahan beban
Dan disengat sinar mentari-Mu
Andai saja, andai saja...
Densitas air yang aku bawa ini
Kurang dari 1000 kg/m3
Pasti sudah hancur lebur
Segala keseimbangan alam
yang ada
Gara-gara permintaan
egoisku
Oh, segala payah dan
lelah ini
Ini lah yang ku cari, ku
rindu
Mengapa aku terus
mengeluh? Mengapa aku merasa lemah?
Sedangkan Engkau adalah
Yang Maha Kuat
Mohon berilah aku
kekuatan
Dalam tarikan nafas
yang terengah-engah, eke merasa bahagia. Ini lah yang eke cari. Dalam dekap
kesunyian alam eke temukan ketenangan, kedamaian, dan berharap pensucian jiwa.
Ya, ya... ini lah alasan eke berada di sini. Subhanallah wal hamdulillah. Di
persimpangan jalur pendakian yang terputus karena aliran lahar, eke berhenti
sejenak menunggu kawan yang ada di belakang. Meskipun eke tahu jalurnya tinggal
lurus saja menyeberang aliran lahar (karena tanda jalurnya juga jelas), namun
eke lebih PD menunggu kawan di belakang. Munculah sam Herman (pendaki yang
langkahnya enteng saja dengan beban yang berat, eke jadi berpikir: apakah orang
bertubuh mungil lebih mudah mendaki dengan beban yang berat?) “Sam!” “Hoi,
mbak! Lewat lurus wae.” “Iyo, lho...
watune malah mbok tendang, Sam. Kuwi tanda.” (Lho, batunya malah kamu
tendang, Mas. Itu tanda.) Lalu, tampak sam Herman membenahi susunan batu itu
menjadi tanda panah yang lebih jelas mengarah ke jalur pendakian yang benar.
Nun jauh di belakang masih tersisa kang Tresna dan Yafar, anggota yang belum
pernah mendaki Semeru, makanya eke sedikit was-was jika mereka terlampau jauh
di belakang. Takut tersesat saat di persimpangan jalan. Eh tapi Yafar adalah
anggota mapala (mahasiswa pecinta lawan jenis) di kampusku, mestinya dia
lebih lihai membaca tanda daripada eke. Akhirnya eke dan sam Herman memutuskan
lanjut perjalanan.
Semeru mulai menampakkan diri di Jambangan |
Hosh hosh... sedikit
lagi, aduh sedikit lagi tanjakan ini akan berakhir! Jambangan segera menyambut
dengan tanahnya yang lapang dan datar. Tampak di situ pak Viki dan mbak Ymu
yang tengah beristirahat, ada beberapa rombongan pendaki lain juga, dan
pedagang yang menjajakan dagangannya. Eke benar-benar memanfaatkan waktu
istirahat di situ, eke merasa badan eke agak lemah dan tenggorokan sakit.
Beberapa hari yang lalu gejala flu memang hampir menyerang, mungkin kali ini
karena kelelahan maka gejala itu muncul kembali. Eke duduk, istirahat, meminum
tolak an*ing, dan mulai terkantuk-kantuk. Tak lama berselang, Yafar dan kang
Tresna mulai bergabung istirahat. Terdengar celoteh kawan-kawan yang sedang
menikmati semangka (lagi) dan gorengan. Eke lebih memilih duduk istirahat dan
akhirnya beranjak karena tak tahan angin dingin yang menusuk meski mentari
sedang terang benderang.
Menatap keagungan Mahameru di Jambangan
|
Sekali lagi eke
memandang Semeru dari Jambangan yang mampu membuat hati bergetar dan selalu
memunculkan kerinduan setelah mendakinya. Gemuruh ada di hati karena semangat
dan ketidakberdayaan menatap keagungannya. “Wow, lerengnya gahar sekali ya, Mi!
Salut sama kamu yang udah muncak. Pertama kali naik gunung langsung Semeru euy,” kata Yafar. Eke tersenyum
menimpali, “Kalo niat pasti bisa kok...” Cukup beristirahat dan berfoto di
Jambangan, kami lanjut perjalanan. Kali ini eke yang mengawali rombongan, entah
mengapa semangat dan kekuatan tiba-tiba muncul. Apakah gara-gara minum tolak an*ing?
Hehe. Yang jelas, eke berjalan cukup cepat menuju Kalimati, melewati
lorong-lorong yang kanan kirinya terdapat tanaman mawar kuning, terus
berjalan... cepat, seperti hendak bertemu seseorang!
Kalimati!!!
|
Sekitar jam 15.30
sampailah eke di Kalimati. Kalimati! Eke dataaaaaaaaang! Padang dengan
semak-semak dan hutan cemara di kaki Semeru itu seakan mengobati kerinduan eke,
jika Kalimati bisa dipeluk... maka akan eke peluk saat itu juga! Saking semangatnya,
eke berjalan terus hampir menuju shelter di
Kalimati, pak Viki yang ada di belakang sana memanggil “Mi! Sebelah sini aja..
sini..,” pak Viki menunjuk sepetak tempat yang terletak di dekat gugusan pohon.
Eke lalu menuju ke arah pak Viki. Pak Viki kemudian mengeluarkan tendanya, eke
dan mbak Ymu menyiapkan peralatan untuk memasak. Sembari menunggu kawan-kawan
yang lain (dan karena merasa sudah termasuk orang-orang yang solat), maka eke
solat jamak qasar dzuhur asar dulu. Lalu serta merta sisa anggota yang lainnya
mulai berdatangan, mereka segera membantu mendirikan tenda dan mengeluarkan
perlengkapan yang ada. Ah, indahnya kebersamaan di gunung. Sore itu kami
memutuskan memasak mie instan dengan lauk sosis dan nugget goreng. Jumlah mie yang dimasak sengaja kami lebihkan, agar
tak memasak nasi, dan lebih mengenyangkan. Sayangnya, angin tetap berhembus
kencang saat kami di Kalimati. Api dari kompor gas kadang menyambar-nyambar
rerumputan kering di bawahnya, jadi ngeri dengan potensi kebakaran.
Memasak mie instan
adalah salah satu keajaiban tersendiri, eke dan mbak Ymu merasa takjub betapa
mudahnya memasak mie daripada nasi. Para laki-laki itu pun menggoreng lauk
dengan riang. Makanan dan minuman hangat sudah siap, kami lalu bersantap
bersama di tenda laki-laki. Ya Allah, mie-nya enak banget! Sosisnya juga, eh
tapi nugget-nya??? Hm, nugget-nya kok
asam sih?? Sepertinya si nugget telah
mengalami proses fermentasi -_- “Hei, nugget-nya
ga usah dimakan!” “Kenapa? Aku udah makan tiga.” “Rasanya aneh gitu, kok
dimakan sih?” “Hum, iya agak sih tapi
gapapa lah...” “Ya sudah, semoga ga diare,” Pak Viki kemudian membuka obrolan
untuk rencana summit malam ini.
“Jadi, gimana ini? Siapa aja yang ikut summit?”
“Aku jaga tenda aja, Pak,” jawab kang Tresna. “Aku.. hm, ga ikut deh,” kata
mbak Ymu. “Hum, iya mbak... kamu juga ga pake sepatu. Nanti bahaya. Aku...
Aku... Aku summit kalo anginnya ga gini,” jawab eke sedikit was-was.
“Sebetulnya sayang juga seh udah
sampe Kalimati tapi ga summit.
Jalurnya Mahameru gimana seh bro? Ada pegangannya ga? Kalo Merapi kan mayan
tuh,” kata Jafar.
“Semeru yo gak ono, bro. Langsung curam.” “Pake banget!” seru eke. “Ibaratnya melangkah sekali ya bakal merosot dua kali. Stres pokoke. Itu curam banget bro, sekalinya jatuh ya... wassalam. Belum lagi batu-batunya yang mudah longsor,” “Serem juga ya,” “Kalo aku bilang, lihat kondisi cuacanya dulu... safety first lah anginnya aja kayak gini,” Pembicaraan mulai mengarah ke: tidak summit. Syukur alhamdulillah kami masih waras dan lebih mementingkan keselamatan. Kemudian Pak Viki menutup dengan kalimat yang menenangkan “Ya sudah, kita summit lihat kondisi cuaca ya. Kira-kira berangkat summit jam 00.00, seandainya anginnya masih gini ya ga jadi berarti. Ya, sebetulnya kita ke sini kan niatnya cuma pindah destinasi. Yah, safety first lah. Ga usah dipaksa summit dalam keadaan begini.” “Iya, jangan melawan alam.” “Nanti makan malam jam berapa? Jam 18.30 masak lagi ya?” “Ga usah bro, ini aja masih kenyang.” “Hei, jangan! Harus tetap makan.” “Ya udah, habis ini istirahat-istirahat dulu ya... nanti jam 18.30 kita masak ya.” Nyatanya kami bisa menerima keadaan yang ada, tak harus summit (meski masih berharap cuaca akan jadi bersahabat tengah malam nanti). Puncak hanya lah bonus. Keceriaan, kehangatan, kebersamaan yang terbangun saat kami makan sore itu di dalam tenda adalah sesuatu yang kami harapkan selama ini. Apalagi yang lebih indah daripada kebahagiaan sore itu?
Kebersamaan ini lah yang kami cari, apa lagi? :) |
Maka selesai makan,
eke dan mbak Ymu kembali ke tenda kami yang mungil. Kami bersih-bersih badan lalu menuju semak-semak untuk ‘menghilang’ sejenak. Angin masih
berhembus kencang dan dingin. Dalam keadaan masih berkamuflase dengan
semak-semak, ada beberapa orang laki-laki yang berjalan mendekat, dua orang.
“Mbak, bilangin jangan suruh sini!” “Hei, jangan ke sini ya! Hei jangan ke
sini! Lho malah mendekaaat!” Pelanggaran. Sosok laki-laki itu berdiri masih jauh dari kami,
rupanya mereka tetangga tenda kami. “Mbak, mau summit ga?” “Eh, anu... Iya, tapi kalau udah ga badai angin!” “Ok,
mbak.. kalo summit kabarin ya! Kami
ada di tenda sebelah yang warnanya orens!” “Iya, iya!”
Kembali lagi ke tenda, kali ini eke dan mbak Ymu sudah tenggelam dalam sleeping bag masing-masing. Jam menunjukkan pukul 17.30. “Sejam lagi kita masak dong...” “Iya.” “Aku pasang alarm deh..” Masing-masing dari kami jelas mencoba tidur, namun sepertinya kami hanya diam dalam gelap. Sedang di luar angin semakin mengamuk, suara hembusannya cukup membuat mental turun. Alarm kemudian berbunyi. “Yah, kalo kaya gini emang ada yang mau masak? Di luar aja kaya gitu...” “Ya udah, tidur lagi aja Mbak.” Mendengar raungan angin di luar kami berdua optimis tak akan ada yang berani ke luar tenda. Malam itu akhirnya kami memutuskan lanjut tidur. Sebetulnya badan terasa lelah, tetapi ya... tidak terlalu lelah juga. Terkadang eke terbangun, jam berapa? Entahlah eke merasa sudah tidur cukup lama. Ranting-ranting di sekitar tenda kami mulai menggelepar-gelepar tertiup angin dan memukul-mukul atap tenda. Suasana di luar begitu mencekam. Sempat terlintas dalam pikiran eke: mungkin akan ada pokok-pokok pohon tumbang yang menimpa tenda kami. Huh! Eke coba mengabaikannya. Ya Allah, izinkanlah kami istirahat di sini dalam keadaan tenang, nyaman, dan aman. Hanya itu ya Allah, kabulkan lah...
Artikel berkesinambungan:
Comments
Post a Comment