Sudut Kecil Tionghoa di Kota Tuban

 

Kota kecil di gerbang Jawa Timur ini diam-diam cukup membuat eke tertarik. Bagaimana tidak, tak terasa eke sudah tinggal menyambung hidup di kota ini hampir 3 tahun - tanpa sanak saudara dengan beragam teman yang saling membantu. Beberapa hal yang menarik disini adalah tumbuhnya kebudayaan Tionghoa yang telah mengakar. Di Tuban sendiri terdapat klenteng Kwan Sing Bio yang berdiri persis di pesisir laut utara Jawa - konon merupakan klenteng terbesar se-Asia Tenggara. Eke memang cukup memiliki ketertarikan dengan budaya Tionghoa yang sudah bersandar dengan masyarakat pribumi dalam kehidupan sehari-hari. Salah satunya diwujudkan dalam bentuk bangunan yang memiliki sentuhan Tionghoa. Btw, eke juga penyuka bangunan-bangunan kuno. Khayalan eke selalu melayang-layang ketika melihat bangunan kuno: dibangun sejak kapan? Buat apa? Apa romansa kehidupan yang pernah terjadi di dalamnya? Siapa yang pernah bernaung disitu? Dsb.
 
Beberapa bangunan bernuansa Tionghoa di Tuban ini cukup menarik perhatian eke. Salah satunya yang berada di jalan Panglima Sudirman ini, karena memiliki gaya simetris dan pemilihan cat yang unik pada kusen-kusennya. Penempatan kusen secara simetris khas Tionghoa ini jelas memiliki filosofi tersendiri yang masih belum eke tahu (hayo, ahli Feng Shui silakan menatarkan...hehe). Lalu yang membuat unik selanjutnya adalah, setahu eke rumah ini jarang dibuka pintu atau jendelanya. Namun, warna kusen dan tanaman di depannya jelas terlihat terawat. Apakah rumah itu berpenghuni? Eke masih belum tahu.
 
Selanjutnya adalah salah satu panel pintu di jalan Diponegoro. Ini pintu menjadi daya tarik tersendiri bagi eke karena mirip seperti yang ditampilkan dalam novel 9 Oktober 1740 karya Remy Sylado. Novel yang menceritakan kisah cinta antara pria Belanda dengan wanita Tionghoa di zaman kemelut pertikaian antara warga Tionghoa dengan penjajah Belanda di Nusantara kala itu. Dimana kota Lasem dan Tuban adalah basis pertahanan kaum Tionghoa waktu itu di bawah pimpinan dua Tuan: Chen Huang Er Xian Sheng. Bisa dilihat ada pembangunan di balik tembok pintu itu, eke yang sering melintasinya jadi terdorong untuk segera mengabadikannya dalam foto - takut jika pintu itu nantinya dibongkar. Sayangnya waktu motret pintu itu ga eke ambil tegak lurus...dan entah kenapa ketika di upload tidak bisa dirotasi.
 
 
 
Eke menyadari dalam pendokumentasian gambar-gambar ini belum menyinggung aspek jurnalistik. Entah, eke masih belum punya nyali untuk mendalami masa lalu tentang apa yang telah eke potret. Disini eke masih seperti 'pencuri', yang mengambil foto di ujung jalan - lalu cepat-cepat melarikan diri. Lepas dari semua itu, selamat menikmati. :)

 

Comments

Popular Posts