Tektok Fuji Tanpa Jajan Sedikitpun

Yap, gunung Fuji memang bisa didaki secara mandiri. Mengingat jalur dan petunjuknya yang sangat jelas dengan segala fasilitas di sepanjang jalur pendakian yang komplit dan mumpuni, ada toilet juga kedai-kedai yang menjajakan makanan dan minuman dengan harga yang fantastis. Nah, mungkin keberadaan mountain guide dibutuhkan untuk para turis jetset, atau yang tidak pede jika harus mendaki sendirian, atau bagi orang-orang yang belum punya pengalaman mendaki sebelumnya. Nah, kali ini eke akan membahas persiapan, tips-tips, juga sedikit pengalaman ketika mendaki Fuji September 2016 lalu. Gunung Fuji dengan ketinggian 3,776 mdpl adalah salah satu destinasi yang kami inginkan selain beberapa destinasi lain yang berhasil kami kunjungi seperti: kota Tokyo, Osaka, Kyoto, dan kota tetangga di sekitar kota Kiryu. Sebetulnya, bagi eke sendiri sih ga mesti harus mendaki Fuji, walaupun memang sedari Indonesia pun eke sudah mempersiapkan peralatan sederhana untuk mendaki seperti: sepatu trekking, jaket windproof, senter kepala, sarung tangan, buff, dan semacamnya. Maksudnya sih buat persiapan aja, barangkali sempat mendaki Fuji, dan kalaupun ga bisa mendaki Fuji - banyak gunung-gunung di sekitar Kiryu yang juga menarik untuk dijelajahi, Gunung Akagi misalnya (berdasarkan hasil surfing eke) dan eke pun juga sadar diri, meskipun pengen mendaki Fuji karena mumpung singgah di Jepang agak lama - namun rasanya mustahil juga jika harus mendaki sendirian tanpa adanya tim yang bisa saling membantu, apalagi pendakian kali ini dilakukan di luar Indonesia. Dan berangkat dari percakapan ini “Pokoknya, kalau kamu yakin dan mau berangkat ke Fuji, aku mau berangkat.” “Aku sih mau-mau aja. Kalo lu gimana?” “Aku sih asal ada temennya, ayuk aja.” Maka berangkatlah kami. 

Sebetulnya jauh-jauh hari eke sudah sering pantauin website pendakian gunung Fuji, nah menurut eke ada dua web yang bermanfaat banget untuk menggali informasi seputar pendakian Fuji. Yang pertama di sini - untuk jadwal pendakian Fuji yang memang hanya buka saat musim panas dan informasi seputar teknis pendakian, yang kedua di sini - untuk mengetahui info cara mencapai basecamp pendakian Fuji. Nah, kami memilih jalur pendakian Yoshida trail yang basecamp-nya dimulai dari Fuji Subaru Line 5th station dengan ketinggian 2,300 mdpl dengan pertimbangan sbb: jalur tersebut adalah jalur populer, yang masih dibuka sampai tanggal 11 September 2016 (tanggal terakhir dibukanya jalur pendakian Fuji), dan yang paling dekat dengan Tokyo.

Sebetulnya berapa sih harga pendakian Fuji jika menggunakan jasa guide? Berdasarkan hasil gugling, maka biayanya mencapai 44,000 JPY belum termasuk pajak 8% (sumbel). Silakan kalikan saja 44,000 dengan ~120 untuk dirupiahkan. Huwaw?! Lalu, jika mandiri butuh biaya berapa? Dari pengalaman eke, pendakian Fuji kemarin menghabiskan 11,530 JPY, itu murni hanya untuk transportasi dan biaya konservasi, tanpa jajan sedikitpun. Rinciannya adalah 10,530 JPY untuk ongkos transportasi Kiryu-Fuji Subaru Line 5th Station PP dan 1,000 JPY untuk iuran konservasi gunung Fuji.  Meskipun menurut informasi yang eke himpun dari teman-teman yang sudah mendaki Fuji bahwa biaya konservasi itu seikhlasnya dan bahkan ada yang gratis, namun ketika ditariki petugas... kami jadi tak berkutik. Nah, berikut beberapa tips dan sharing pengalaman tentang pendakian Fuji eke kemarin 10-11 September 2016.

Pilihan Transportasi
Kami berangkat dari kota Kiryu yang berjarak ±200 km dari danau Kawaguchiko, danau yang berada di kaki gunung Fuji. Begitu banyak pilihan transportasi yang ditawarkan di Jepang, tinggal di-gugling saja maka semuanya akan terpampang dan berjejer dengan jelas. Tentu saja pilihan kami adalah skenario transportasi yang paling ekonomis dan dengan spare waktu hingga 2 jam, hal ini untuk mengantisipasi jadwal shuttle bus terakhir yang mengantar dari Kawaguchiko ke Fuji Subaru Line 5th Station.
Sebenarnya ada dari
1. stasiun Kiryu stasiun Kawaguchiko langsung via kereta. Namun sepertinya kami ga ngeh dan dari awal menargetkan dari stasiun Shinjuku ke Kawaguchiko atau Fuji Subaru Line 5th Station via bus. Seharusnya skenario seperti ini:
2. Stasiun Kiryu Stasiun Shinjuku via kereta dan Stasiun Shinjuku Fuji Subaru Line 5th Station via highway bus. Namun tiket bus jurusan Stasiun Shinjuku Fuji Subaru Line 5th Station sudah habis waktu itu. Jadi akhirnya:
3. Stasiun Kiryu Stasiun Shinjuku via kereta dan Stasiun Shinjuku Kawaguchiko via highway bus lalu lanjut Kawaguchiko Fuji Subaru Line 5th Station via shuttle bus. Untuk kepulangannya, Fuji Subaru Line 5th Station Stasiun Shinjuku via highway bus dan Stasiun Shinjuku Stasiun Kiryu via kereta. Nah, rincian biaya PP (per orang) dari opsi nomor 3 ini adalah sebagai berikut:
Keberangkatan
Kereta St. Kiryu St. Shinjuku : ¥ 2,270
Highway bus St. Shinjuku Danau Kawaguchiko : ¥ 1,750
Shuttle bus Danau Kawaguchiko Fuji Subaru Line 5th Station: ¥ 1,540
Total biaya keberangkatan : ¥ 5,560

Pulang
Highway bus Fuji Subaru Line 5th Station St. Shinjuku : ¥ 2,700
Kereta St. Shinjuku St. Kiryu : ¥ 2,270
Total biaya pulang : ¥ 4,970
Total biaya PP : ¥ 10,530

Opsi transportasi no. 1 dan 3 selisih 300 JPY. Meskipun engga terlalu besar namun lumayan buat beli minuman dingin di vending machine hehe.

Persiapan
  • Rute transportasi: sebaiknya sebelum melakukan perjalanan, persiapkan dan pelajari terlebih dahulu rute transportasi yang akan ditempuh. Berkenaan dengan bahasa dan aksara informasi yang tidak memakai aksara latin, perpindahan jurusan kereta, lokasi tempat yang akan dituju, waktu tiba di destinasi, dsb. Ini perlu dilakukan agar perjalanan lancar dan tidak terjadi keterlambatan karena human error.
  • Fisik: Sepertinya fisik kami cukup terlatih, mengingat setiap hari kami pulang pergi dari dan ke kampus yang jaraknya 1 km-an dengan menaiki sepeda. Meskipun baru seminggu, karena kami tiba di Jepang pada 2 September, namun lumayan lah. Hehe.
  • Perbekalan: kami sepakat untuk sehemat mungkin dalam menyiapkan bekal, terutama untuk makanan, karena masih awal-awal minggu kedatangan kami di Jepang dan belum familiar dengan (kehalalan) produk makanan Jepang. Kami merencanakan bekal makanan berat, berupa nasi putih dan lauk pauk sederhana (nugget dan juga kering teri kacang hehe) yang dapat dimakan 2x - untuk makan siang dan makan malam. Sisanya bekal berupa biskuit dan makanan-makanan manis lainnya. Air minum kami bawa sejak dari keberangkatan, masing-masing membawa 2 botol air mineral: 1 ukuran 600 ml dan 1 ukuran 2L yang dibeli di Family Mart Kiryu seharga 100-an JPY. Mengingat harga minuman dan makanan yang semakin melambung seiring dengan ketinggian pos di Fuji di mana jajanan tsb dijual. Tak lupa juga membawa obat-obatan sederhana.
  • Perlengkapan: sederhana saja. Hanya bawa tas punggung biasa (malahan tas laptop! Haha.), jas hujan, peluit, sarung tangan, sepatu trekking, senter kepala, kamera, tisu basah, hp, buff, uang yen (hehe) - yang receh-receh 100an pun perlu disiapkan untuk bayar toilet selama berada di jalur pendakian, dan jaket windproof. Oiya, kartu identitas jangan lupa selalu di bawa ke mana-mana yaa.
  • Teknis pendakian: kami sepakat melakukan pendakian tek-tok tanpa menginap karena memang tidak boleh menginap sembarangan di jalur pendakian Fuji kecuali di pondokannya. Sedangkan harga menginap di pondokannya pun cukup lumayan, sekitar 5,000 - 7,000 JPY/orang/malam. Kami berencana naik kira-kira pukul 8 malam tanggal 10 September, dan turun dari puncak paling telatnya pukul 7 pagi tanggal 11 September. Menurut hasil survei eke dari teman-teman yang sudah berpengalaman naik Fuji, maka mereka membutuhkan waktu 6-8 jam untuk pendakian. Hm, lumayan juga. Nah, nanti lihat apa yang terjadi pada eke beserta rekan. Hehe.

Pengalaman
Kiryu, 10 September 2016
Sebetulnya alarm sudah berbunyi sejak pukul 4, tapi badan masih mager berat dan akhirnya benar-benar bangun lalu mandi pukul 4.30 padahal kami harus menyiapkan bekal dan juga mengejar kereta ke stasiun Kiryu menggunakan sepeda yang jaraknya ~4 km dari apartemen kami. Beruntungnya mbak Fusi berbaik hati untuk turut menyiapkan bekal makanan berat. Lalu, kami sesegera mungkin bertolak dari apartemen, mepet, sekitar pukul 5.50-an kami baru berangkat. Maka dengan segenap kayuhan sepeda, kami berusaha mengejar kereta yang jadwalnya berangkat pada pukul 6.23. Pukul 6.10 sesampainya di stasiun Kiryu, kami masih bingung bagaimana caranya membeli tiket agar sampai ke stasiun Shinjuku. Di saat keadaan panik tsb, eke tersadar ternyata hp eke ketinggalan di keranjang sepeda. Argh! Alhasil eke harus berlarian mengambil kembali hp yang tertinggal dan masalah pembelian tiket eke pasrahkan kepada rekan eke yang tampak sedang berbahasa isyarat dengan bapak-bapak penjaga loket. Sekembalinya eke di dalam stasiun, syukur tiket kereta ke Shinjuku sudah terbeli. Bapak penjaga loket tsb mengisyaratkan kami untuk berada di jalur 2, maka berlarianlah kami ke jalur 2. Kereta datang tepat waktu tanpa terlambat dan PHP sedikit pun. Syukur alhamdulillah kami dapat bernafas dengan lega di dalam kereta. Selanjutnya, pindah-berpindah kereta menuju stasiun Shinjuku tinggal mengikuti arahan dari G-Maps.


St. Shinjuku
Sesampainya di Shinjuku sekitar pukul 9, kami segera menuju Shinjuku Expressway Bus Terminal yang letaknya tepat di depan pintu keluar selatan stasiun Shinjuku. Sesampainya di terminal, kami segera melakukan registrasi tiket dan melihat-lihat sekeliling terminal sembari menunggu kedatangan bus pada pukul 10.15. Terminal busnya adalah sebuah bangunan bertingkat, seperti parkiran mall di mana bus muncul di tengah-tengah bangunan lalu berjalan berkeliling menuju tempat pemberangkatan penumpang. Bus pun datang, petugas dengan cekatan memeriksa tiket dan barang bawaan kami. Akhirnya kami dapat duduk dengan tenang di dalam bus sambil menikmati perjalanan yang direncanakan memakan waktu ~1.5 jam itu. Di luar dugaan, jalan tol di Jepang ternyata bisa macet juga mungkin berkenaan dengan week end


Shinjuku Expressway Bus Terminal

Perjalanan pun molor lebih dari 30 menit. Yang kami khawatirkan adalah ketinggalan shuttle bus yang berangkat dari Kawaguchiko, karena shuttle bus terakhir berangkat pukul 13.50. Meskipun begitu, kami tetap tenang dan mencoba menikmati perjalanan. Bus melewati jalan tol dengan pemandangan menakjubkan di samping kanan kirinya, seringnya tampak perbukitan cemara terkadang juga perumahan penduduk di tepi danau. Syahdu. Terkadang bus berhenti sejenak untuk menaikkan penumpang yang sudah menunggu di gardu di pinggir jalan tol. Tertidur dan terbangun kembali di dalam bus, penumpang bus mendadak riuh ketika bus mengantar mereka ke wahana wisata termahsyur di Jepang: Fuji-Q Highland. Selepas keluar dari wahana wisata tsb, suasana bus kembali tenang. Kebetulan tujuan kami (Kawaguchiko) adalah tujuan terakhir trayek bus tsb, jadi kami tak khawatir kebablasan. Sesampainya di Kawaguchiko, awalnya kami berencana ingin foto-foto dulu di danau tsb. Namun begitu sampai di tempatnya kira-kira pukul 12.30, antara mepet waktunya untuk menaiki shuttle bus dan celingukan Ini danaunya yang sebelah mananyaaa...karena kami turun di parkiran bus akhirnya kami memutuskan menuju Tourist Infromation Center (TIC) untuk bertanya di mana letak pembelian tiket shuttle bus. Syukur, petugas TIC dapat berbahasa Inggris dengan lancar dan sesegera mungkin kami menuju loket penjualan tiket shuttle bus sesuai dengan arahannya. Seperti biasa, yang unik di Jepang adalah seringnya petugas-petugas di tempat umum maupun kasir kombini adalah orang-orang yang berumur > 45 tahun.


Petugas loket shuttle bus kemudian menunjukkan harga tiket PP menggunakan kalkulator, namun eke jelaskan (dengan bahasa isyarat tentunya uu-aa-uu hehe) bahwa eke hanya perlu tiket pergi saja karena tiket pulangnya sudah dapat dari highway bus. Setelah tiket didapat, kebetulan sekali kami langsung dapat menaiki bus yang berangkat jam 12.50. Ternyata tidak terlalu banyak penumpang yang menuju Fuji’s station, karena tujuan kami adalah Fuji Subaru Line 5th station maka sebelumnya melewati station pertama selanjutnya kedua dan seterusnya, semakin naik dan naik gunung. Jalanan sepi di tengah hutan dan meliuk-liuk, sesekali terlihat tim biker yang istiqomah mengayuh sepeda di jalanan yang menanjak.

Hutan di kiri kanan jalan pun semakin syahdu dan semakin berkabut seiring dengan ketinggian station. Akhirnya sampai juga di station terakhir di Fuji Subaru Line 5th station sekitar pukul 14. Hawa dingin langsung terasa, kabut tampak sering turun dari lereng-lereng Fuji. Sesekali kabut tampak pudar dan menunjukkan lereng Fuji yang tanahnya berwarna kemerahan, mirip Rinjani. Fuji Subaru Line 5th station ini menurut eke adalah tempat wisata yang mungkin dikunjungi untuk melihat Fuji dari dekat, menikmati pemandangan kota dari ketinggian, sedikit trekking dengan memasuki hutan di lereng Fuji, atau mungkin juga ziarah karena terdapat kuil shinto di situ. Eke sendiri kurang tahu sesuatu khas apayang harus dinikmati di situ. Suasana cukup ramai tapi tidak yang terlalu padat begitu. Kami sempatkan berkeliling melihat-lihat sekitar untuk tahu di mana nanti awal jalur pendakiannya, dan tentunya berfoto-foto secukupnya. Selain kuil shinto, tentunya juga ada toko souvenir yang menjajakan hiasan khas Fuji.


Suasana di sekitar Fuji Subaru Line 5th Station
Lereng Fuji yang terlihat dari 5th station dengan turis-turis yang mencoba memotretnya
Kuil Shinto


Fancy stuffs di dalam toko oleh-oleh



Ini dia basecamp para pendaki Fuji

Setelah cukup mengamati keadaan sekitar, lalu kami memutuskan untuk istirahat, makan siang, dan solat. Terdapat bangunan yang sepertinya memang dikhususkan untuk basecamp pendakian Fuji. Letaknya di ujung dekat dengan jajaran tempat duduk outdoor/parkiran mobil. Di basecamp tampak para pendaki yang tengah bersiap-siap maupun ada juga yang istirahat. Oiya, mulai dari 5th station ini sudah tidak disediakan tempat sampah, tujuannya tentu agar para turis membawa turun kembali sampahnya. Meskipun begitu, masih ada tempat sampah di toilet. Hari masih sore dan waktu menuju start pendakian yang kami tetapkan pada jam 20 masih sangat lama. Kami pun mulai bingung dan bengong mau ngapain aja di basecamp tsb. Mencoba tidur sudah, jalan-jalan ke luar sudah dan hawa di luar pun semakin dingin, memandangi foto dan pura-pura membaca kepsyen foto di ruangan basecamp sudah, mencoba berbasa-basi dengan turis dari Bangladesh pun sudah. Sebetulnya yang eke butuhkan waktu itu adalah tidur yang nyenyak, namun apadaya suasana basecamp semakin malam semakin ramai oleh pendaki. Sambil melihat-lihat persiapan para pendaki lainnya, eke pun terkesima dengan seorang aki-aki Jepang yang tampak sigap dan percaya diri mendaki Fuji seorang diri. Bisa dibilang perbekalan beliau cukup sederhana, tas punggung kecil, baju kasual, dan celana jins. Namun, beliau tampak teguh dan percaya diri. Kakek itu pun berlalu ke luar dari basecamp


Suasana di dalam basecamp
Pukul 19 malam akhirnya kami putuskan untuk memakan bekal nasi kami yang terakhir, eke sendiri menyisakan sedikit nasi barangkali nanti butuh untuk sarapan atau apalah. Sambil mengecek kembali barang bawaan, lalu kami bersiap menuju titik awal pendakian dan tak lupa sebelumnya berdoa dan berfoto dulu di sekitar basecamp. Kami berjalan ke arah kandang kuda, di situlah para pendaki menuju. Di dekat kandang kuda tsb ada beberapa orang yang sedang menjaga pos. Sebetulnya kami tahu penjaga pos tsb berkenaan dengan biaya konservasi Fuji dan kami pun tak luput dari panggilan orang tsb. Setelah membayar ¥ 1,000 per orang dan mendapat souvenir beserta buku panduan, kami pun melanjutkan perjalanan.


Yang didapat setelah bayar 1,000 JPY
Awal pendakian adalah jalur yang menurun landai dengan hutan yang cukup terbuka. Di sisi kiri jalur terlihat lampu kota yang berkelap-kelip nun jauh di sana. Entah kota apa, eke kurang tahu. Cuaca pun juga bersahabat, cerah dengan bulan dan bintang yang dapat dilihat dengan jelas. Di awal pendakian ini, eke masih semangat dan cukup bisa mengikuti jalur pendakian. Eke masih bisa mendaki sambil berbincang dan tertawa. Ya iyalah, kan jalurnya masih menurun, hehe. Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, jalur pendakian Fuji sangat jelas dan juga tertata. Jalur berhutan mungkin hanya dilewati selama 1 jam, dan selanjutnya adalah jalur menanjak lereng tanpa vegetasi. Jalur menanjak ini dibuat cukup lebar dan zigzag sepanjang perjalanan hingga menuju puncak. Jalur menanjak bervariasi mulai dari tanah berkerikil, tanah berbatu, dan tangga dari batu yang disusun. Memasuki jalan menanjak yah ketahanan diri eke mulai diuji. Seperti biasa nafas mulai terengah-engah. Sesekali eke berhenti sebentar untuk mengatur nafas. Eke pun lebih sering berjalan tertinggal di belakang rekan eke. Duluan aja, gapapa...” kata eke kepada rekan.

Entah fisik yang kurang terlatih atau eke yang tak biasa mendaki tektok (Fuji ini adalah pendakian tektok pertama eke) atau sebenernya eke ngantuk berat atau eke yang tiba-tiba terkena penyakit ketinggian karena aklimatisasi yang kurang sehingga selama pendakian Fuji ini eke berjalan sambil sakit kepala. Rasanya penat tapi eke tetap paksa berjalan walaupun pelan dan sering berhenti. Jalan menanjak yang zigzag tsb memang cukup memudahkan pendaki sehingga menjadi tidak terlalu curam, namun lama-kelamaan bisa membosankan juga, meskipun jalur tsb juga ada bonusnya. Biasanya di jalur yang datar terdapat pos/kedai/penginapan (eke engga bisa bedain apakah itu pos/kedai/penginapan. Maklum belum baca buku panduannya.) ataupun toilet. Pos/kedai/penginapan tsb juga sering riuh dengan pemiliknya yang menjajakan dagangan: teh hangat maupun makanan siap saji tersedia di situ. Bangunannya pun sangattt menggoda iman untuk singgah, terbuat dari kayu yang disusun khas Jepang dan penerangan yang sayup-sayup, dan ketika pintunya dibuka.... seketika udara hangat menguar dari pintu tsb. Eits, sekalinya istirahat di situ maka bisa dikenakan tarif 1,000-2,000 JPY/jam. Ya sudah, karena kami bertekad untuk sehemat mungkin maka jadi lah kami istirahat ngemper di pinggir jalan. Seketika ada tempat yang nyaman, rekan eke langsung berusaha tidur. Eke yang masih celingukan dan memperhatikan keadaan sekitar dan berencana menyusul tidur malah jadi tak bisa tidur karena badan keburu dingin dan menggigil. Untuk tidur yang pertama ini rekan eke sempat tidur barang 20 menit-an, ekenya yang masih sepet tak bisa tidur.

Oiya, jika ingin pipis di lereng Fuji maka toilet tersedia di sepanjang jalur pendakian. Toiletnya bergaya modern berupa WC duduk, namun yang perlu diperhatikan adalah: TIDAK ADA AIR di toilet tsb karena Fuji masuk ke dalam wilayah konservasi. Tisu masih disediakan seingat eke. Jadi, bisa disimpulkan toiletnya model TOILET KERING. Bersih sih, cuman.. karena tidak ada air, jadi ketika pipis di-flush yaa air yang buat nge-flush itu air pipis yang lain (kurang tahu apakah urinnya telah diproses terlebih dahulu atau engga). Kebayang kan aromanya. Nah, di toilet ini kita mesti bayar seperti toilet di Indonesia: bayarnya tinggal nyemplungin uang ke dalam kotak uang. Baiklah, lanjut mendaki. Di setiap kelokan jalur biasanya terdapat papan info sisa jarak menuju puncak. Papan ini menurut eke antara menyemangati dan PHP-in. Puncak tinggal 1 km lagi, namun hanya dekat di mata. Di tengah pendakian sejujurnya eke hanya berjalan dengan pasrah saja, sebisa mungkin menyelesaikan pendakian hingga ke puncak karena jalur turun Fuji berbeda dengan jalur naiknya. Ketika ada lahan datar, seketika eke yang penat dan ngantuk berat langsung merebahkan badan dan cari posisi nyaman di emperan penginapan. Badan yang masih panas setelah mendaki langsung eke manfaatkan untuk tidur di tempat. Namun panas tubuh hanya bertahan kira-kira 25 menit, selama itu lah eke bisa tidur dengan nyaman. Setelah itu eke akhirnya terbangun, selain karena badan sudah dingin juga bising dengan suasana di sekitar penginapan yang riuh. Sepertinya pemilik penginapan kurang suka jika kami ngemper di depan penginapannya, oleh karena itu pemilik penginapan sering mondar-mandir di depan kami sambil meneriakkan Please come in! ¥ 1,150 for an hour!Eke yang masih linglung sehabis tidur hanya sedikit menangkap info dari teriakan penjaga penginapan: Hah, ¥ 150 buat sejam?? Lumayan dong. Eke hampir mengajak rekan untuk istirahat barang sejenak di penginapan yang hangat tsb tapi setelah eke dengarkan baik-baik, hm... engga jadi deh. Setelah nyawa terkumpul kembali, eke lanjutkan kembali pendakian yang jalurnya semakin curam.


Suasana pagi yang membuat suram :(


Jangan kalah sama aki-aki!
Puncak sudah kelihatan, man!

Sekitar jam 4 waktu setempat, semangat eke kembali lagi entah karena suasana di jalur yang mendekati puncak cukup ramai dengan antrian pendaki atau karena tersulut setelah melihat pendaki aki-aki yang istiqomah berjalan menuju puncak. Terbayang nanti di puncak bisa melihat mentari terbit dan menghangatkan badan di gunung yang dikeramatkan di Jepang ini. Namun apa daya, satu jam berlalu awan tebal masih menutupi mentari sampai hangat sinarnya pun tak terasa. Cukup membuat murung, namun di depan ada penyemangat lain yaitu gerbang Torii yang menandakan puncak sebentar lagi. Di depan gerbang, eke sempatkan untuk berfoto-foto. Di sini juga eke tersadar, kabut yang lewat adalah kabut basah yang cukup membuat kamera eke basah. Kamera rekan eke pun jadi tak bisa dinyalakan, kemungkinan besar juga karena basah dan dingin. Mulai dari sini, eke simpan saja kamera eke dan memutuskan untuk memakai kamera hp saja.



Dikit lagi puncaknya, neng...

Puncak Fuji, 11 September 2016


Saking paniknya, yang terlintas di pikiran eke cuma memakan kue muffin coklat yang dibekal.

Ini dia tugu puncaknya!
Dengan segenap semangat akhirnya eke dan rekan berhasil mencapai puncak sekitar pukul 6 sambil ditiupi kabut basah yang berhembus melalui celah-celah bangunan. Iya, di puncak Fuji terdapat beberapa bangunan yang pintunya tertutup dan eke kurang tahu fungsi bangunan tsb apa. “Ini beneran udah sampai puncak kan?” tanya eke tak percaya kepada rekan. “Iya ini udah puncak kok.” Akhirnya eke yakin saat itu sudah di puncak karena ada tugu penanda, yah walaupun ditulis dalam aksara kanji tapi kira-kira itu artinyaa puncak Fuji (hoax, kwkw). Sambil menanti pendaki lain yang berfoto di tugu puncak Fuji, kabut basah masih menerpa dan berhembus semakin kencang. Setelah selesai berfoto, kami segera merapat ke salah satu dinding bangunan berniat untuk memakai jas hujan dan istirahat sebentar. Namun tak disangka, kabut berhembus semakin menggila. Dingin langsung menyergap tubuh. Jujur, waktu itu eke cukup panik dan juga menggigil. Saking paniknya, yang terlintas di pikiran eke cuma memakan kue muffin coklat yang dibekal. Maksudnya biar engga hipo gitu hehe. Melihat ada seorang pendaki wanita di deket eke yang cukup tenang dan merapat ke dinding membuat eke kembali tenang dan dapat menguasai tubuh. Setelah jas hujan terpasang dengan benar, eke dan rekan sepakat segera bertolak meninggalkan puncak. Berbekal mengikuti insting, kami berjalan menyusuri jalur yang ada. Menurut info yang eke baca sebelumnya, jalur turun Fuji via Yoshida nantinya akan bercabang dengan jalur Subashiri. Maka agar tidak salah jalur kami sempatkan bertanya pada pendaki yang lewat “Apakah benar ini jalur turun Yoshida?” “Betul, tinggal ikuti saja jalurnya yang membutuhkan waktu 4 jam.”

Baiklah, kami meninggalkan puncak Fuji dengan mantap dan sesuai rencana yaitu pada pukul 7 pagi. Melewati bangunan yang ada di sekitar Fuji, eke cukup terkesima ternyata badai kabut yang menerpa kami memang betul-betul dingin. Terbukti dengan adanya aliran air yang mengalir di atap bangunan yang keburu jadi es. Keputusan kami segera meninggalkan puncak ternyata adalah pilihan yang tepat, beberapa ratus meter meninggalkan puncak badai kabut tidak lagi menerjang. Berganti dengan cuaca yang cerah dan hangat dengan mentari. Mentari hangat di puncak gunung adalah salah satu KEBAHAGIAAN yang HQQ. Eke pun serta merta mengambil posisi rebahan di pinggir jalur, bermaksud untuk istirahat sebentar. Di tanah yang miring dan punggung masih menggendong ransel, otomatis ransel tsb menjadi sandaran yang nyaman. Eke pun terbuai. “Hai! Gimana ndaki Fuji-nya seru ya?!” kata mbak Fusi mengagetkan diriku. “Iya mbak, alhamdulillah lancar. Cuaca juga bersahabat.” Eh! Tentu saja tidak ada mbak Fusi di lereng Fuji, dia tidak ikut, dia ada di Kiryu. Eke kaget lalu terbangun dengan sedikit ences di pipi. “Apa yang kamu rasain, Mi?” tanya rekan eke. “Hah? Ngantuk aja. Iya, ngantuk banget.” “Kamu engga kedinginan kan?” “Engga kok. Biasa aja. Cuman, laper. Iya laper.” Sambil berusaha menemukan sisa bekal nasi di tas, eke tersadar sudah tertidur barang 30 menit. Enyakkkkk. Setelah nyawa genap terkumpul dan istirahat sudah cukup, maka kami melanjutkan perjalanan turun.


Happy sudah kena matahari :D
Udah gitu aja terus zigzag sampai ke tanah yang ada tanemannya itu


Nah ini dia papan petunjuk percabangan jalurnya
Masih sama, jalur turun pun dibuat zigzag lebar. Bedanya, jalur turun lebih didominasi oleh tanah kerikil berwarna merah. Percabangan jalur dengan Subashiri trail pun kami temui setelah 1/3 perjalanan turun dari puncak. Papan petunjuk pun ditulis dengan jelas, jadi insyaAlloh kami berada di jalur yang benar. Jalur zigzag menurun ini bagai tak berujung, polanya sama sejak dari puncak hingga hampir mencapai basecamp. Jika cara berjalannya tidak dijaga maka dengkul bisa nyeri lemas. Melihat pasangan bule yang berjalan zigzag, eke pun akhirnya menirunya. Ternyata cara itu lumayan membuat dengkul tidak terlalu menahan beban. Paling enak memang menuruni Fuji dengan menggunakan trekking pole. Kemudian, yang unik di jalur turun ini adalah adanya alat-alat berat yang berjalan lawan arah dengan pendaki. Akhirnya eke mengerti bahwa, alat berat tsb bertujuan untuk memampatkan jalur agar tidak terlalu longsor saat dipijak pendaki.


Ketika dia lewat, para pendaki langsung pada minggir dari jalur


Hutan syahdu sesaat sebelum mencapai basecamp

Sesuai dengan perkiraan, kami tiba di basecamp tepat pukul 11. Setiba di basecamp, seperti biasa bersih-bersih badan, meluruskan kaki, dan istirahat. Pukul 12, kami sudah siap sedia menunggu highway bus di pinggir jalan yang jadwalnya tiba pukul 13. Perjalanan pulang kami jadi lebih semangat, salah satunya karena petugas tiket busnya seorang mbak-mbak yang berseragam kawaii dan mirip manga, hoho. Alhamdulillah perjalanan bus menuju St. Shinjuku lancar tanpa halangan. Sesampainya di St. Shinjuku, awalnya sedikit bingung juga perihal pembelian tiket ke St. Kiryu namun petugas cukup membantu meskipun kami saling tidak mengerti bahasanya. Seperti sebelumnya, pindah berpindah jurusan kereta mengikuti G-maps.

Dan... sesampainya di Kiryu, kami harus berjuang mengayuh sepeda. Kebalikan dengan keberangkatan, perjalan pulang mengayuh sepeda ini berarti jalurnya menjadi menanjak. Sesampainya di apato kami disambut oleh mbak Fusi dengan percakapan yang hampir sama seperti mimpi eke di puncak - juga dengan dua piring yang penuh dengan gorengan bakwan buatannya. “Wahhh..... bakwannya banyak bangetttt! Hore! Makasih.”

:)

Comments

Popular Posts