Memori Tentangmu, Kakakku...
Eke sengaja mencari-cari tulisan ini di laptop pribadi eke, tulisan yang telah eke tulis kira-kira empat tahun yang lalu. Tentang kakak eke, tentang memori yang tak ingin eke lupakan...atau bisa saja nanti terlupakan karena tertimpa memori yang lain atau karena penuaan. Sejak eke menulis tulisan ini, maka eke bertekad untuk mendokumentasikan momen kehidupan eke yang tak ingin eke lupakan dalam wujud tulisan. Sekadar untuk alat bantu memori atas kapasitas mengingat-ingat yang terbatas. Silakan jika ingin ikut membaca, semoga bermanfaat, dan di akhir ketika membaca nanti...mohon doanya yah untuk kakak eke :) Semoga Allah membalas kebaikan doa huni dengan balasan yang lebih baik. Aamiin. Salam.
Hari ini adalah
hari yang nyaman. Semua anggota keluargaku berkumpul di rumah, terasa tenteram
dan damai di hati. Suatu anugerah yang nikmat dari Allah. Ayah ibuku,
kakak-kakakku dengan suami atau isterinya serta anak-anaknya, nenekku,
sedangkan aku sendiri yang belum berkeluarga =). Celoteh, cekikian, gelak tawa
orang dewasa dan anak-anak berbaur menjadi satu di rumah diiringi dengan
cerita-cerita pengalaman dari hati. Tetapi memang, ada satu yang kurang.
Berita-berita di televisi masih
santer mengabarkan tentang kematian Michael Jackson, dimana
berita-berita tersebut biasanya disajikan sambil diberi background lagunya
Jacko, (apalagi kalau diputar lagu yang judulnya “One Day in Your Life”, salah
satu lagu kesukaannya) semakin menambah ingatan saya bahwa hari ini memang ada
yang kurang. Ingatan langsung melesat cepat tertuju padanya. Seketika bibir ini
komat-kamit pelan menghembuskan doa beribu asa untuknya. Dia, kakakku Ragil Ayu
Lestari. Salah satu wanita paling berpengaruh dalam hidupku. Disini saya akan menceritakan
sedikit tentang kakakku kepada Anda, kiranya berkenan. =)
Telah 19 tahun hidup bersamanya, tentunya di dalam
hati dan pikiran saya sudah terpatri akan sosok kakak saya. Saya ingat betul
bagaimana suaranya, cara berjalannya, senyumnya, aroma badannya,
komentar-komentar lucunya, bentuk tulisannya, tingkahnya yang menghibur,
hobinya yang suka ngemil, tatapan matanya, dan seeeegalanya. Tentu saja
semuanya saya ingat karena saya dulu sekamar dengannya (meskipun kamar di rumah
masih banyak yang luang), selalu tidur bersamanya (saya menolak untuk tidur
sendirian sedangkan dia sering protes dengan orang tua saya perihal sempit dan
panasnya kamar yang dihuni dua orang, hehe), dan saya memang sering
menghabiskan waktu dengannya. Dialah kakak yang paling dekat dengan saya,
karena kakak-kakak yang lain lebih besar dan selisih umurnya terlampau jauh
dengan saya (kira-kira 15 tahun dan 12 tahun). Sejak kecil kami memang selalu
bersama, dia (selanjutnya kita panggil Mbak Ayu) adalah contoh kakak yang baik.
Ketika saya masih TK sampai SD, mbak Ayu sering menjemput saya pulang dari
sekolah. Sesampainya di rumah, biasanya kami bermain bersama. Meskipun tidak
dipungkiri, kadang-kadang mbak saya ini juga sering mengusili dan
menakut-nakuti saya sehingga membuat saya menangis. Ah, tapi toh gapapa…
Sewaktu saya SD (pokoknya sewaktu saya sekolah) mbak
Ayu tak henti-hentinya beralih profesi menjadi guru les pribadi saya (saya ga
pernah ikut bimbel mana pun lho!), meskipun intensitas mengajarnya mulai
berkurang semenjak saya SMA. Itu karena mbak Ayu punya kesibukan sendiri, yaitu
kuliah sambil bekerja. Teringat akan masa lalu (kalau ga salah waktu saya kelas
4 SD), guru kelas saya memberi PR Matematika. Beliau memerintahkan kepada
murid-muridnya untuk mengerjakan seluruh latihan soal yang ada di buku diktat
Matematika (buku yang warnanya ijo dari depdiknas yang tebalnya mungkin 200
halaman. Ingat ga???) dengan deadline 2 hari setelah penugasan!! Setelah
selesai sekolah, saya pusing bukan kepalang. Masha Allah, dengan PR sebanyak
itu apakah saya sanggup? Apalagi dengan kemampuan otak saya yang pas-pasan dan
sedikit lamban terhadap pelajaran Matematika. Alhasil, seharian penuh saya
berkutat dengan buku, pensil, penghapus dan didampingi mbak Ayu yang siap
berbagi informasi mengenai PR saya. Tentu saja sepanjang mengerjakan PR, beliau
selalu menjelaskan ini dan itu karena saya yang susah nyantel walaupun sudah
diterangkan secara jelas. Maklum jika beliau berkali-kali melotot dan berteriak
ketika menerangkan kepada saya, sedangkan saya pun kadang-kadang bertingkah
menyebalkan seperti tidak tahu terima kasih. Malam pun mulai tiba, mbak Ayu
yang sejak tadi telah mengajarkan macam-macam kepada saya mulai terlihat lelah,
mulutnya mungkin serasa berbusa. Apalagi saya yang menghadapi buku Matematika,
mulai pusing dan lelah mengerjakan PR. Dan tiba-tiba, mbak saya itu mulai
tertidur di lantai. Sedangkan saya harus sendirian mengerjakan PR dengan
kemampuan yang serba terbatas dan otak yang sudah penat dan kelelahan. Waktu
menunjukkan pukul 23.30. Saya mulai kebingungan dan sudah tak sanggup lagi
berpikir jernih untuk menyelesaikan soal. Teringat deadline pengumpulan tugas
yang tinggal sebentar lagi, maka saya mulai putus asa. Saya menangis malam itu,
bingung antara ingin menyelesaikan PR tapi kepala sudah puyeng atau ingin pergi
tidur saja. Akhirnya malam itu saya merengek-rengek sambil mengguncang-guncang
tubuh kakak saya bermaksud ingin membangunkannya. Tapi apadaya, guncangan
tangan saya tidak sanggup membangunkan tubuh mbak Ayu yang terlampau lelah.
Tetapi akhirnya dia bergerak! Oh, ternyata Cuma memindah posisi tidur, sambil
bergerak beliau ternyata mengucapkan sesuatu sambil tidur “yo wis, soal yang
kayak gitu kan gampang banget to. Kamu baca soal ceritanya pelan-pelan, pahami.
Wong, ngitungnya tinggal dibagi, baru ditambahkan sama yang itu….” Setelah itu
beliau tidur tenang kembali. Saya yang menatapnya, hanya bisa mengerutkan dahi
dan selanjutnya tertawa cekikikan melihat tingkah kakak saya yang lucu. Perihal
PR, saya akhirnya memutuskan ikut tidur sambil memikirkan alasan-alasan yang
sesuai kalau-kalau guru saya menagih PR saya. Hihi.
Mbak Ayu adalah motivator sejati untuk saya. Beliau
sanggup memberikan semangat berjuang untuk hidup lebih baik kepada saya dengan
cara-caranya sendiri yang penuh cinta dan harapan. Motivator manapun saya rasa
tak sebanding dengannya. Jasanya sangat banyak sekali, prestasi-prestasi
sekolah tidak mungkin saya raih tanpa dukungannya. Beliaulah yang memutuskan
saya baiknya sekolah dimana dan beliaulah yang memantapkan saya untuk mengikuti
kursus biola. Saya bisa masuk di sekolah-sekolah favorit (maaf, bukan maksud
nyombong. Astaghfirullah.) berkat arahannya. Dulu selepas lulus SD, saya
benar-benar tidak mengerti apa yang dimaksud sekolah favorit, pikir saya saat
itu yang penting saya dapat sekolah di SMP mana saja. Selepas lulus SMP pun,
beliau kembali mengobarkan semangat saya untuk belajar demi mendapat sekolah
yang baik. Hingga saya lulus SMA, beliau ikut merundingkan jurusan apa yang
harus saya pilih dan sesuai dengan saya.
Kakak saya adalah orang yang sangat ramah, humoris,
penyayang. Mungkin jika Anda masih berkesempatan menemuinya saat ini, pasti
Anda tak sungkan untuk sekedar mengobrol dengannya walaupun tak pernah bertemu
sebelumnya. Komentar-komentar spontannya sering menghibur dengan pilihan kata
yang kadang tak lazim. Hehe. Mbak Ayu sangat membantu ketika ibu tidak ada di
rumah, beliau sanggup memasak sesuatu seenak masakan ibu saya. Jadi, ketika
saya sedang sakit sedangkan ibu tidak ada di rumah, saya masih bisa merasa
tenteram jika ditemani mbak Ayu.
Mbak Ayu adalah seorang yang gigih. Semangat
berjuangnya sungguh tinggi! Diimbangi dengan kemampuan otaknya serta
keuletannya yang baik. Profesinya adalah seorang akuntan. Akuntan yang handal
tentunya. Sampai akhirnya beliau dipercaya untuk bekerja di Badan Pemeriksa
Keuangan Republik Indonesia cabang Samarinda. Inilah pekerjaan terakhir yang
diembannya.
Sekali lagi mbak Ayu adalah kakak yang baik dan tentu
saja, orang yang baik, bahkan lebih baik dari saya. Dia tidak pernah pacaran
sama sekali sampai bertemu dengan suaminya. Beliau jatuh cinta hanya sekali,
untuk suaminya. Mereka menikah 21 Desember 2007 lalu. Karena masalah tempat
pekerjaan yang berbeda, maka tidak bisa dihindari lagi, pasangan suami istri
ini harus tinggal terpisah. Mbak Ayu tinggal di Samarinda sedangkan suaminya
tinggal di Solo. Mereka bertemu hanya beberapa bulan sekali. Dan, subhanallah,
mbak Ayu memang benar-benar wanita yang kuat. Beliau sanggup bekerja di
Samarinda dalam keadaan hamil, jauh dari keluarga, jauh dari suami. Menanggung
bayi laki-laki kembar dalam perutnya di Samarinda sana dengan ridha Allah,
dengan doa-doa kami semua.
Alangkah senangnya kami semua ketika mbak Ayu cuti
hamil dan tinggal di Semarang. Rencananya beliau akan melahirkan di Semarang
dengan operasi Caesar karena keadaan bayinya yang berukuran besar. Waktu itu
adalah bulan Ramadhan 2008, sungguh nikmat yang tiada tara ketika keluarga
berkumpul bersama. Saya bisa bertemu lagi dengan mbak Ayu, setiap pagi atau kapanpun
saya mau, saya bisa memeluk perutnya yang mahabesar berisi dua bayi laki-laki.
Tiba saatnya beliau untuk melahirkan secara Caesar di rumah sakit, beribu doa
kami panjatkan untuk keselamatan dan kebaikan mbak Ayu serta bayi-bayinya. Dan
Alhamdulillah, pada 17 September 2008 mbak Ayu dan bayi-bayinya selamat tanpa
kekurangan suatu apapun. Bayi pertama, Muhammad Nolan Fachrus terlahir dengan
berat 2,8 kg dan bayi kedua, Nobel Ramadhan Fachrus terlahir dengan berat 3 kg.
Kami sangat bahagia, sangat bersyukur kepada Allah atas segala nikmat yang
dicurahkan dan berharap bayi-bayi ini adalah calon manusia dewasa yang
bermanfaat untuk kebaikan dunia akhirat. Amiin.
Pasca melahirkan, kondisi tubuh mbak Ayu mulai
melemah. Beliau mengeluhkan tentang sesak nafas, batuk, dan jantung berdebar
yang cukup membuatnya lemah. Akhirnya beliau terpaksa dirawat di rumah sakit
lagi selama seminggu, kemudian kembali lagi ke rumah karena menurut dokter
kondisinya telah membaik tetapi dengan syarat selama di rumah tidak boleh terlalu
banyak aktivitas. Ya, kami merawat beliau sebaik mungkin di rumah. Beliau
sangat sedikit sekali mengeluhkan tentang penyakitnya, jadi kami pikir
keadaannya akan cepat membaik.
Hari raya Idul Fitri pun tiba, 1 Oktober 2008
bertepatan pula dengan ulang tahun mbak Ayu yang saat itu berumur 27 tahun.
Kami semua sangat bersyukur bisa berkumpul bersama di hari yang indah itu,
saling memaafkan, saling bercerita, dan terharu mendengar nasihat ayah dan ibu.
Hari-hari berlalu dengan lancar, tamu-tamu datang dan pergi dari rumah kami.
Anggota keluargaku pada waktu itu disibukkan oleh mengurus tamu, mengurus bayi
baru, dan juga mengurus mbak Ayu pasca melahirkan. Semuanya tidak terlalu
merepotkan, malahan menyenangkan karena kita berkorban untuk orang yang kita cintai.
Sampai pada suatu malam, saya terbangun dari tidur karena mendengar raungan di
luar kamarku. Saya segera keluar kamar, dan mendapati ibu saya sedang menangis
meraung-raung, ayah saya sedang memberi nafas buatan, sedang suami mbak saya
sedang memijit tangan mbak Ayu, sedangkan dua bayinya sedang tertidur tenang.
Saya terbelalak kaget melihat tubuh mbak Ayu yang sedang tidur tanpa nafas.
Pikiran saya langsung kalut, mencoba berpikir jernih. Akhirnya saya memutuskan
untuk berlari memanggil dokter tetangga, berlari pontang-panting di jalan yang
sepi (waktu itu jam 1.30), menggedor-gedor pintu dokter tersebut yang tak
kunjung dibuka. Kemudian saya pulang lagi ke rumah, mengambil gagang telepon
dan memencet nomor telepon rumah sakit dengan tangan gemetar sambil menyuruh
ayah saya untuk menjemput dokter jaga di klinik 24 jam. Suara di ujung telepon
itu menyuruh untuk membawa mbak saya ke rumah sakit. Akhirnya, ayah ibu, suami,
serta dokter jaga itu membawa mbak Ayu ke dalam mobil menuju rumah sakit.
Selama di rumah, saya menunggu dengan cemas sambil menelepon saudara-saudara
untuk memberi doa yang terbaik bagi kakak saya. Bahkan saya pun menjadi
khawatir dan sangat takut menerima telepon dari ayah saya. Tetapi apadaya,
takdir Allah datang lebih cepat. Malaikat maut telah bertandang ke rumah saya
beberapa waktu yang lalu. Telepon berdering, suara ayah saya terdengar di ujung
sana dan mengabarkan bahwa kakak saya telah tiada. Sontak lemas semua
persendian tubuhku, tak bisa berkata-kata dan akhirnya tumpah dengan menangis
sambil mengucap innalillahi wa inna ilahi raji’un…11 Oktober 2008, kembali ke
Rahmatullah dengan senyum tipis yang tersungging, dia adalah anggota
keluargaku. Ada salah satu nisan binti Asrori di pemakaman itu…
Semua kenangan-kenangan bersamanya tiba-tiba datang
dengan cepat membanjiri pikiranku seperti film yang sedang diputar. Datang satu
pergi lagi, datang lagi, pergi lagi. Membuat hati ini sangat ingin memeluk
tubuhnya yang mungkin bisa hangat kembali. Tapi saya sadar bahwa ini nyata dan
memang harus dihadapi. Tugas saya selanjutnya adalah meneruskan kebaikannya dan
meninggalkan keburukannya. Saya harus mendidik anak-anaknya sebaik mungkin,
minimal seperti yang beliau telah ajarkan kepada saya. Akan saya ceritakan
dengan bangga bagaimana ibu mereka telah hidup di dunia ini dan tak perlu
khawatir karena tak akan pernah menemuinya. Karena sesungguhnya beliau bersama
kita, dalam hitungan matematika yang pernah diajarkannya kepada saya, dalam
kerlingan ceria anak-anaknya, dalam setiap senyuman kita yang ikhlas, dalam
semangat kita untuk berjuang hidup, dalam bangun subuh seperti beliau dulu
membangunkan saya, dalam kekuatan kita menghadapi tantangan, dalam setiap doa
yang kita kirimkan, dalam harapan kita yang gemilang. Beliau ada di hati.
Semoga Allah memberikan kebaikan padanya, pahala
syahid, menghapuskan dosa-dosanya, memberinya tempat yang lebih baik daripada
di dunia, memberikan kunci surga untuknya. Ya Allah, sampaikan salam sayangku
untuk kakakku….amiin.
Comments
Post a Comment